BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bali adalah salah satu wilayah dari Indonesia
yang kaya akan sejarah dan kebudayaan. Karena kekayaan tradisi dan kebudayaan,
maka tak heran Bali merupakan salah satu objek pariwisata yang sangat diminati
oleh wisatawan, baik itu dari dalam maupun luar negeri. Dari berbagai
kebudayaan yang ada di Bali, budaya gotong royong merupakan sebuah tradisi yang
sangat khas dari masyarakat Bali. Karena dengan gotong royong, maka tradisi dan
kebudayaan di masyarakat Bali dapat terus terjaga dan lestari. Dalam hal ini
kami tertarik dengan masalah organisasi sosial serta kekerabatan pada
masyarakat hindhu di Bali, khususnya dalam menjalankan masing-masing peran dan
fungsinya dalam ritual upacara ngaben. Sehingga dengan pembahasan makalah kami,
kita dapat memetik pelajaran yang dapat berguna bagi hidup kita.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Apakah yang dimaksud dengan ngaben?
b.
Apa saja organisasi sosial dan kekerabatan yang
ada dalam masyarakat Bali?
c.
Bagaimana fungsi dan peran organisasi sosial
dan kekerabatan dalam pelaksanaan upacara ngaben di Bali?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan
dari makalah kami adalah memberikan informasi kepada pembaca mengenai fungsi
dan peran organisasi sosial dalam upacara ngaben pada masyarakat hindhu di Bali.
Semoga dengan adanya makalah kami, maka kita dapat mengetahui bentuk fungsi dan
peran organisasi sosial dan kekerabatan masyarakat Bali, serta dapat memetik
pelajaran dari pembahasan kami tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Bali adalah nama salah
satu pulau sekaligus provinsi di Indonesia. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar, yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah
pemeluk agama Hindhu. Di dunia, Bali terkenal sebagai
tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil
seni-budayanya. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau
Seribu Pura.
Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang
153 km dan selebar 112 km sekitar
3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis,
Bali terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Bujur Timur yang
membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain.Luas wilayah
Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 8
kabupaten, 1 kotamadya, 55 kecamatan, dan 701 desa/kelurahan.
Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah
Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan di
antara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur
dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi, yaitu Gunung Merbuk, Gunung
Patas dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali
secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali
Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai dan Bali Selatan
dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri
dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas
118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha dan lahan sangat curam
(>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang
berlokasi di daerah pegunungan, yaitu Danau Beratan atau Bedugul, Buyan, Tamblingan, dan Batur. Alam Bali yang indah menjadikan pulau Bali terkenal
sebagai daerah wisata.
Selain di Denpasar, tempat-tempat penting lainnya yang ada di Bali
adalah Ubud sebagai pusat kesenian dan peristirahatan, terletak di Kabupaten
Gianyar. Nusa
Lembongan adalah sebagai salah satu
tempat menyelam (diving), terletak di Kabupaten Klungkung.
Sedangkan Kuta, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan
utama pariwisata, baik wisata pantai
maupun tempat peristirahatan, spa, dan lain-lain, terletak di Kabupaten
Badung.
A.
PENGERTIAN
NGABEN
Ngaben merupakan
salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong
upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara
etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran
an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan
terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api,
api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api
abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara).
Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal,
sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk
perjalannya ke Sunia Loka
Bentuk-bentuk
Upacara Ngaben
Ngaben
Sawa Wedana
Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah
yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini
dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang
tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang
persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga
mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di
balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk
memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan
dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak
keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti
membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan
pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang
bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
Ngaben Asti Wedana
Asti Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka
jenazah yang telah pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah,
yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk
kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai
tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu dimana
masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara
pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan
upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
Swasta
Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah
maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal,
seperti : meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak
ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu
cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari
atma orang yang bersangkutan.
Ngelungah
Ngelungah
adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.
Warak Kruron
Warak
Kruron adalah upacara untuk bayi yang keguguran.
Tujuan Upacara Ngaben
Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan
tujuan sebagai berikut :
1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian
menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang
Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan
Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara
untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan
kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan
Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu : a. Pertiwi : unsur
padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll b. Apah: unsur cair yang
membentuk darah, air liur, air mata, dll c. Bayu : unsur udara yang
membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh. e.
Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi
bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
Rangkaian Upacara
Ngaben
Acara
|
Deskripsi
|
Ngulapin
|
Upacara untuk memanggil Sang
Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di
luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini
dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi setempat, ada yang
melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
|
Nyiramin/Ngemandusin
|
Upacara memandikan dan
membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang
bersangkutan (natah). Prosesi ini juga disertai dengan pemberian
simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas
mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan
mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke
asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar
dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat).
|
Ngajum Kajang
|
Kajang adalah selembar kertas
putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau
tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan
dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara
menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat
melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang
dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.
|
Ngaskara
|
Ngaskara bermakna penyucian roh
mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan
dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih
hidup di dunia.
|
Mameras
|
Mameras berasal dari kata peras
yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila
mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang
akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka
lakukan.
|
Papegatan
|
Papegatan berasal dari kata
pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan
duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan
menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga
berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih
baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah
lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti
gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut.
Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum
keluar rumah hingga putus.
|
Pakiriman Ngutang
|
Setelah upacara papegatan maka
akan dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta
kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung
jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa
yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan
mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara
Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara
angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan
diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol
mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu
perputaran ini juga bermakna:
Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan
dengan sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai
simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3x di muka kuburan
sebagai simbol perpisahan dengan dun
|
Ngeseng
|
Ngeseng adalah upacara
pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah
disediakan , disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri,
kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang
bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta,
setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang
hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading
yang telah dikeluarkan airnya.
|
Nganyud
|
Nganyud bermakna sebagai ritual
untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang
dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya
dilaksakan di laut, atau sungai.
|
Makelud
|
Makelud biasanya dilaksanakan
12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah
membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang
melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil dari
Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di
tengah hutan.
|
B. SISTEM KEKERABATAN DAN
ORGANISASI SOSIAL YANG ADA DALAM MASYARAKAT BALI
Sistem Kekerabatan
Orang Bali
Perkawinan
merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena pada
saat itulah ia dapat dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru
sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban seorang warga komuniti dan
warga kelompok kerabat.
Menurut
anggapan adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan
sistem kasta (wangsa), maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan diantara
warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang yang dianggap sederajat dalam
kasta. Demikian, perkawinan adat di Bali itu bersifat endogami klen, sedangkan
perkawinan yang dicita-citakan oleh orang Bali yang masih kolot adalah
perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki. Keadaan ini
memang menyimpang dari lain-lain masyarakat yang berklen, yang pada umumnya
bersifat exogam.
Orang-orang
se-klen di Bali itu, adalah orang orang yang setingkat kedudukannya dalam adat
dan agama, dan demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin
dalam batas klennya, terjagalah kemungkinan akan ketegangan-ketegangan dan
noda-noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar kasta yang berbeda
derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dari kasta
yang tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang lebih rendah derajat kastanya,
karena perkawinan itu akan membawa malu kepada keluarga, serta menjatuhkan
gengsi dari seluruh kasta dari anak wanita tersebut.
Dahulu,
apabila ada perkawinan semacam itu, maka wanitannya akan dinyatakan keluar dari
adatnya dan secara fisik suami-istri akan dihukum buang (maselong) untuk
beberapa lama, ketempat yang jauh dari tempat asalnya. Semenjak tahun 1951,
hukuman sermacam itu tidak pernah dijalankan lagi, dan pada saat ini hukuman
campuran semacam itu relatif lebih banyak dilaksanakan. Bentuk perkawinan lain
yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami
dengan saudara laki-laki istri (makedengan ngad), karena perkawinan yang
demikian itu dianggap dapat mendatangkan bencana (panes). Pada umumnya, seorang
pemuda Bali memperoleh seorang istri dengan dua cara, yaitu dengan meminang
(memadik, ngidih) kepada keluarga gadis, atau denganacara melarikan seorang
gadis (mrangkat,ngrorod). Kedua cara diatas berdasarkan adat.
Sesudah
pernikahan, suami-istri yang baru biasanya menetap secara virilokal dikomplek
perumahan dari orang tua suami, walauntidak sedikit suami istri yang menetap
secara neolokal dengan mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya ada pula
suami istri baru yang menetap secara uxorilokal dikomplek perumahan dari
keluarga istri (nyeburin). Kalau suami istri menetap secara virilokal, maka
anak-anak keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal
(purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan mewarisi harta pusaka dari
klen tersebut. Sebaliknya, keturunan dari suami istri yang menetap secara
uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si istri,
dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Dalam hal ini kedudukan si istri
adalah sebagai sentana(penerus keturunan).
Suatu
rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari suatu keluarga batih yang bersifat
monogami, sering ditambah dengan anak laki-laki yang sudah kawin bersama
keluarga batih mereka masing-masing dan dengan orang lain yang menumpang, baik
orang yang masih kerabat maupun orang yang bukan kerabat. Beberapa waktu
kemudian terdapat anak laki-laki yang sudah maju dalam masyarakat sehingga ia
merasa mampu untuk berdiri sendiri, memisahkan diri dari orang tua dan
mendirikajn rumah tangga sendiri yang baru. Salah satu anak laki-laki biasanya
tetap tinggal di komplek perumahan orang tua (ngerob), untuk nanti dapat
membantu orang tua mereka kalau sudah tidak berdaya lagi dan untuk selanjutnya
menggantikan dan melanjutkan rumah tangga orang tua.
Tiap-tiap
keluarga batih maupun keluarga luas, dalam sebuah desa di Bali harus memelihara
hubungan dengan kelompok kerabatnya yang lebih luas yaitu klen (tunggal dadia).
Strutur tunggal dadia ini berbeda-beda di berbagai tempat di Bali. Di desa-desa
pegunungan, orang-orang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup
neolokal, tidak usah lagi mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing-masing
tempat kediamannya. didesa-desa tanah datar, orang-orang dari tunggal dadia
yang hidup neolokal wajib mendirikan mendirikan tempat pemujaan di
masing-nasing kediamannya, yang disebut kemulan taksu.
Disamping
itu, keluarga batih yang hidup neolokal masih mempunyai kewajiban-kewajiban
terhadap kuil asal (dadia atau sanggah) di rumah orang tua mereka.Suatu pura
ditingkat dadia merayakan upacara-upacara sekitar lingkaran hidup dari semua
warganya, dan dengan demikian pura/kuil tersebut mempersatukan dan
mengintensifkan rasa solidaritet anggota-anggota dari suatu klen kecil.
Di
samping itu ada lagi kelompok kerabat yang lebih besar yang melengkapi beberapa
kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja kuil leluhur yang sama disebut kuil
(pura) paibon atau panti. Dalam prakteknya, suatu tempat pemujaan di tingkat
paibon juga hanya mempersatukan suatu lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang
masih dikenal hubungannya saja. Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu
sejarah asal-usul yang ditulis dalam bentuk babad dan yang disimpan sebagai
pusaka oleh salah satu dari keluarga-keluarga yang merasa dirinya senior, ialah
keturunan langsung dan salah satu cabang yang tua dalam klen.
Sistem KemasyarakatanAtau
Organisasi Sosial Orang Bali
1. Banjar
Merupakan
bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan
sosial itu diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagaman yang
keramat. Didaerah pegunungan, sifat keanggotaan banjar hanya terbatas pada
orang yang lahir di wilayah banjar tersebut. Sedangkan didaerah datar, sifat
keanggotaannya tidak tertutup dan terbatas kepada orang-orang asli yang lahir
di banjar itu. Orang dari wilayah lain atau lahir di wilayah lain dan kebetulan
menetap di banjar bersangkutan dipersilakan untuk menjadi anggota(krama banjar)
kalau yang bersangkutan menghendaki.
Pusat
dari bale banjar adalah bale banjar, dimana warga banjar bertemu pada hari-hari
yang tetap. Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut kelian banjar. Ia
dipilih dengan masa jabatab tertentu oleh warga banjar. Tugasnya tidak hanya
menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dari banjar sebagai
suatu komuniti, tapi juga lapangan kehidupan keagamaan. Kecuali itu ia juga
harus memecahkan masalah yang menyangkut adat. Kadang kelian banjar juga
mengurus hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
2. Subak
Subak
di Bali seolah-olah lepas dari dari Banjar dan mempunyai kepala sendiri. Orang
yang menjadi warga subak tidak semuanya sama dengan orang yang menjadi anggota
banjar. Warga subak adalah pemilik atau para penggarap sawah yang yang menerima
air irigasinya dari dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak.
Sudah tentu tidak semua warga subak tadi hidup dalam suatu banjar. Sebaliknya
ada seorang warga banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan
mendapat air irigasi dari bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan
demikian warga banjar tersebtu akan menggabungkan diri dengan semua subak
dimana ia mempunya sebidang sawah.
3. Sekaha
Dalam
kehidupan kemasyarakatan desa di Bali, ada organisasi-organisasi yang bergerak
dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah sekaha. Organisasi ini bersifat
turun-temurun, tapi ada pula yang bersifat sementara. Ada sekaha yang fungsinya
adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenan dengan desa,
misalnya sekaha baris (perkumpulan tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha
tersebut sifatnya permanen, tapi ada juga sekaha yang sifatnya sementara, yaitu
sekaha yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya
sekaha memula (perkumpulan menanam), sekaha manyi (perkumpulan menuai), sekaha
gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. sekaha-sekaha di atas biasanya
merupakan perkumpulan yang terlepas dari organisasi banjar maupun desa.
4. Gotong
Royong
Dalam
kehidupan berkomuniti dalam masyarakat Bali dikenal sistem gotong royong
(nguopin) yang meliputi lapangan-lapangan aktivitet di sawah (seperti menenem,
menyiangi, panen dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah,
dinding rumah, menggali sumur dan sebagainaya), dalam perayaan-perayaan atau
upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa
kecelakaan dan kematian. nguopin antara individu biasanya dilandasi oleh
pengertian bahwa bantuan tenaga yang diberikan wajib dibalas dengan bantuan
tenaga juga. kecuali nguopin masih ada acara gotong royong antara sekaha dengan
sekaha. Cara serupa ini disebut ngedeng (menarik). Misalnya suatu perkumpulan
gamelan ditarik untuk ikut serta dalam menyelenggarakan suatu tarian dalam
rangka suatu upacara odalan. bentuk yang terakhir adalah kerja bhakti (ngayah)
untuk keprluan agama,masyarakat maupun pemerintah.
Kesatuan-kesatuan
sosial di atas, biasanya mempunyai pemimpin dan mempunyai kitab-kitab peraturan
tertulis yang disebut awig-awig atau sima. Pemimpin biasanya dipilih oleh
warganya. Klen-klen juga mempunyai tokoh penghubung yang bertugas memelihara
hubungan antara warga-warga klen, menjadi penasehat bagi para warga mengenai
seluk beluk adat dan peristiwa-peristiwa yang bersangkaut paut dengan klen.
Tokoh klen serupa itu di sebut moncol. Klen tersebut tidak mempunyai peraturan
tertulis, akan tetapi mempunya silsilah/babad. Ditingkat desa ada
kesatuan-kesatuan administratif yang disebut perbekelan. Suatu perbekelan yang
sebenarnya merupakan warisan dari pemerintah Belanda, diletakkan diatas
kesatuan-kesatuan adat yang asli di Bali, seperti desa adat dan banjar. Maka
terdapatlah gabungan-gabungan dari banjar dan desa ke dalam suatu perbekelan
yang dipimpin oleh perbekel atau bendesa yang secara administratif bertanggung
jawab terhadap atasannya yaitu camat, dan seterusnya camat bertanggung jawab
kepada Bupati.
Fungsi dan
Peran Organisasi sosial dan Kekerabatan
dalam Upacara Ngaben
Sebelum
kita masuk lebih dalam tentunya kita sebaiknya terlebih dahulu memahami tentang
apa itu organisasi sosial. Organisasi sosial dalam hal ini dapat dimaknai
dengan melihat upacara ngaben yang dilaksanakan oleh para kerabat yang telah
ditinggalkannya. Organisasi sosial merupakan sebuah susunan atau struktur yang
terjadi dalam masyarakat dimana dalam sebuah struktur tersebut terdapat adanya
pembagian tugas dan wewenang (Retno:2013). Dengan demikian dapat kita simpulkan
tentang apa yang dimaksud fungsi dan peran Organisasi sosial dan kekerabatan
dalam upacara Ngeben. Upacara ngaben yang dilakukan oleh masyarakat Bali
tentunya dilakukan oleh kerabat-kerabat yang telah ditinggalkan. Dalam
kerabat-kerabat tentunya masing-masing kerabat tersebut mempunyai peran dan
fungsinya masing-masing.
Dalam upacara ngaben pada masyarakat Bali pada saat pelaksanaan ngaben
tersebut kerabat yang ditinggalkan tentunya bertugas untuk menyiapkan segala
keperluan yang diperlukan dalam serangkaian upacara ngaben tersebut. Pada saat
pelaksanaan ngaben keluarga yang ditinggalkan tidak boleh untuk meneteskan air
mata karena menurut kepercayaan masyarakat Bali, jika keluarga yang
ditinggalkan itu meneteskan air mata maka dapat menghambat arwah orang yang
meninggal untuk kembali kepada sang pencipta.
Dalam pelaksanaan ngaben juga dikenal hari baik. Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta. Di sini seorang
pendeta berperan sebagi penentu hari dimana akan diadakannya ngaben dan
tentunya hal itu atas permintaan kerabat dari orang yang meninggal. setelah
melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh
sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan "bade
dan lembu" terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni
sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.
Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara
dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sbg simbol-simbol seperti
halnya ritual lain yg sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk
manusia yg meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yg tidak
ada jenazahnya spt orang tewas terseret arus laut dan jenazah tdk diketemukan,
kecelakaan pesawat yg jenazahnya sudah hangus terbakar, atau spt saat kasus bom
Bali 1 dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah
terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.
Ngaben
merupakan serangkaian upacara yang dilakukan masyarakat Bali, dalam rangkaian
tersebut didalamnya terdapat pembakaran mayat karena dalam kepercayaan
masyarakat Bali pembakaran mayat tersebut bertujuan untuk menghantarkan roh
orang yang meninggal menuju sang pencipta(Joko Adi : 2013). Dalam rangkaian upacara
ngaben tersebut juga memiliki fungsi sebagi status sosial apabila keluarga yang
meninggal tersebut tergolong masyarakat yang berstatus atau berkasta tinggi
maka pelaksanaan upacara ngaben akan dilakukan dengan besar dan meriah,
sebaliknya jika orang yang meninggal itu tergolong masyarakat yang memiliki
status sosial yang rendah atau berkasta rendah maka ngaben yang dilaksanakan
akan sederhana. Jika keluarga tergolong mampu, Ngaben bisa dilaksanakan
dengan cepat, dan tinggal menunggu hari baik yang telah ditentukan oleh
Pedanda. Bila keluarga tergolong kurang mampu, jenazah dapat dikebumikan
terlebih dahulu. Jika dana sudah memungkinkan untuk melaksanakan Ngaben, maka
dilakukan upacara Asti Wedana,
yaitu dengan cara mengupacarai tulangnya. Jika mungkin, dapat dilakukan upacara
terhadap rohnya, dengan cara ngulapin atau ngangkid.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Ngaben merupakan serangkaian upacara
yang dilakukan masyarakat Hindhu Bali. Salah satu rangkaian dari upacara ngaben
tersebut adalah upacara pembakaran mayat yang dimaksudkan untuk menghantarkan
arwah orang yang meninggal untuk kembali ke sang pencipta. Dalam pelaksanaan
ngaben ini terlihat sekali fungsi dari kekerabatan pada masyarakat Hindhu Bali.
Masyarakat Hindhu Bali memang memegang teguh dalam hal masalah sistem
kekerabatan mereka. Fungsi tersebut terlihat pada prosesi ngaben dimana para kerabat
saling memegang peranan masing-masing dalam hal menyiapkan upacara ngaben
tersebut. Masyarakat Hindhu Bali juga menganggap hubungan kekerabatan itu
sangat penting, hal itu juga terbukti dalam masalah perkawinan masyarakat Bali
yang menggunakan pola perkawinan Endogami. Dengan adanya pola perkawinan
endogami ini dalam masyarakat Bali dimaksudkan agar dapat menjaga sistem
kekerabatan mereka karena pada masyarakat Bali juga mengenal sistem kasta
dimana masyarakat itu dibagi menjadi 4 kasta tersebut.
Masyarakat Bali adalah masyarakat yang
menganut sistem Patrilineal, di mana masyarakat Bali mengambil garis keturunan
itu dari garis laki-laki (ayah). Hal ini menyebabkan keberadaan laki-laki dalam
konteks kekerabatan itu sangat penting bagi masyarakat suku bangsa Bali karena
keberadaan laki-laki nantinya sebagai penerus garis keturunan dari keluarganya
dan kasta mereka.
Daftar
Pustaka :
·
http://gennuss.blogspot.com/2013/12/sistem-kekerabatan-dan-pekawinan.html (diakses tanggal 13 april 2014)
No comments:
Post a Comment