Tuesday 14 October 2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Bali adalah salah satu wilayah dari Indonesia yang kaya akan sejarah dan kebudayaan. Karena kekayaan tradisi dan kebudayaan, maka tak heran Bali merupakan salah satu objek pariwisata yang sangat diminati oleh wisatawan, baik itu dari dalam maupun luar negeri. Dari berbagai kebudayaan yang ada di Bali, budaya gotong royong merupakan sebuah tradisi yang sangat khas dari masyarakat Bali. Karena dengan gotong royong, maka tradisi dan kebudayaan di masyarakat Bali dapat terus terjaga dan lestari. Dalam hal ini kami tertarik dengan masalah organisasi sosial serta kekerabatan pada masyarakat hindhu di Bali, khususnya dalam menjalankan masing-masing peran dan fungsinya dalam ritual upacara ngaben. Sehingga dengan pembahasan makalah kami, kita dapat memetik pelajaran yang dapat berguna bagi hidup kita.
1.2  Rumusan Masalah
a.       Apakah yang dimaksud dengan ngaben?
b.      Apa saja organisasi sosial dan kekerabatan yang ada dalam masyarakat Bali?
c.       Bagaimana fungsi dan peran organisasi sosial dan kekerabatan dalam pelaksanaan upacara ngaben di Bali?
1.3  Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari makalah kami adalah memberikan informasi kepada pembaca mengenai fungsi dan peran organisasi sosial dalam upacara ngaben pada masyarakat hindhu di Bali. Semoga dengan adanya makalah kami, maka kita dapat mengetahui bentuk fungsi dan peran organisasi sosial dan kekerabatan masyarakat Bali, serta dapat memetik pelajaran dari pembahasan kami tersebut.





BAB II
PEMBAHASAN

Bali adalah nama salah satu pulau sekaligus provinsi di Indonesia. Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar, yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindhu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.
Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Bujur Timur yang membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain.Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 8 kabupaten, 1 kotamadya, 55 kecamatan, dan 701 desa/kelurahan.
Berdasarkan relief dan topografi, di tengah-tengah Pulau Bali terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur dan di antara pegunungan tersebut terdapat gugusan gunung berapi yaitu Gunung Batur dan Gunung Agung serta gunung yang tidak berapi, yaitu Gunung Merbuk, Gunung Patas dan Gunung Seraya. Adanya pegunungan tersebut menyebabkan Daerah Bali secara Geografis terbagi menjadi 2 (dua) bagian yang tidak sama yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Kemiringan lahan Pulau Bali terdiri dari lahan datar (0-2%) seluas 122.652 ha, lahan bergelombang (2-15%) seluas 118.339 ha, lahan curam (15-40%) seluas 190.486 ha dan lahan sangat curam (>40%) seluas 132.189 ha. Provinsi Bali memiliki 4 (empat) buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan, yaitu Danau Beratan atau Bedugul, BuyanTamblingan, dan Batur. Alam Bali yang indah menjadikan pulau Bali terkenal sebagai daerah wisata.
Selain di Denpasar, tempat-tempat penting lainnya yang ada di Bali adalah Ubud sebagai pusat kesenian dan peristirahatan, terletak di Kabupaten GianyarNusa Lembongan adalah sebagai salah satu tempat menyelam (diving), terletak di Kabupaten Klungkung. Sedangkan KutaSeminyakJimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan utama pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan, spa, dan lain-lain, terletak di Kabupaten Badung.
A.    PENGERTIAN NGABEN
Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka
Bentuk-bentuk Upacara Ngaben
Ngaben Sawa Wedana
Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
Ngaben Asti Wedana
Asti Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang telah pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu dimana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
Swasta
Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti : meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
Ngelungah
Ngelungah adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.
Warak Kruron
Warak Kruron adalah upacara untuk bayi yang keguguran.
Tujuan Upacara Ngaben
Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut :
1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu : a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll c. Bayu : unsur udara yang membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
Rangkaian Upacara Ngaben
Acara
Deskripsi
Ngulapin
Upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
Nyiramin/Ngemandusin
Upacara memandikan dan membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang bersangkutan (natah). Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugrahi badan yang lengkap (tidak cacat).
Ngajum Kajang
Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.
Ngaskara
Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.
Mameras
Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.
Papegatan
Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
Pakiriman Ngutang
Setelah upacara papegatan maka akan dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna:
Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dun
Ngeseng
Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan , disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading yang telah dikeluarkan airnya.
Nganyud
Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.
Makelud
Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa hukuman 12 tahun di tengah hutan.






B. SISTEM KEKERABATAN DAN ORGANISASI SOSIAL YANG ADA DALAM MASYARAKAT BALI
Sistem Kekerabatan Orang Bali
Perkawinan merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena pada saat itulah ia dapat dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat.
Menurut anggapan adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan diantara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Demikian, perkawinan adat di Bali itu bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan oleh orang Bali yang masih kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki. Keadaan ini memang menyimpang dari lain-lain masyarakat yang berklen, yang pada umumnya bersifat exogam.
Orang-orang se-klen di Bali itu, adalah orang orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama, dan demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin dalam batas klennya, terjagalah kemungkinan akan ketegangan-ketegangan dan noda-noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dari kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang lebih rendah derajat kastanya, karena perkawinan itu akan membawa malu kepada keluarga, serta menjatuhkan gengsi dari seluruh kasta dari anak wanita tersebut.
Dahulu, apabila ada perkawinan semacam itu, maka wanitannya akan dinyatakan keluar dari adatnya dan secara fisik suami-istri akan dihukum buang (maselong) untuk beberapa lama, ketempat yang jauh dari tempat asalnya. Semenjak tahun 1951, hukuman sermacam itu tidak pernah dijalankan lagi, dan pada saat ini hukuman campuran semacam itu relatif lebih banyak dilaksanakan. Bentuk perkawinan lain yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri (makedengan ngad), karena perkawinan yang demikian itu dianggap dapat mendatangkan bencana (panes). Pada umumnya, seorang pemuda Bali memperoleh seorang istri dengan dua cara, yaitu dengan meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga gadis, atau denganacara melarikan seorang gadis (mrangkat,ngrorod). Kedua cara diatas berdasarkan adat.
Sesudah pernikahan, suami-istri yang baru biasanya menetap secara virilokal dikomplek perumahan dari orang tua suami, walauntidak sedikit suami istri yang menetap secara neolokal dengan mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya ada pula suami istri baru yang menetap secara uxorilokal dikomplek perumahan dari keluarga istri (nyeburin). Kalau suami istri menetap secara virilokal, maka anak-anak keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan mewarisi harta pusaka dari klen tersebut. Sebaliknya, keturunan dari suami istri yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si istri, dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Dalam hal ini kedudukan si istri adalah sebagai sentana(penerus keturunan).
Suatu rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari suatu keluarga batih yang bersifat monogami, sering ditambah dengan anak laki-laki yang sudah kawin bersama keluarga batih mereka masing-masing dan dengan orang lain yang menumpang, baik orang yang masih kerabat maupun orang yang bukan kerabat. Beberapa waktu kemudian terdapat anak laki-laki yang sudah maju dalam masyarakat sehingga ia merasa mampu untuk berdiri sendiri, memisahkan diri dari orang tua dan mendirikajn rumah tangga sendiri yang baru. Salah satu anak laki-laki biasanya tetap tinggal di komplek perumahan orang tua (ngerob), untuk nanti dapat membantu orang tua mereka kalau sudah tidak berdaya lagi dan untuk selanjutnya menggantikan dan melanjutkan rumah tangga orang tua.
Tiap-tiap keluarga batih maupun keluarga luas, dalam sebuah desa di Bali harus memelihara hubungan dengan kelompok kerabatnya yang lebih luas yaitu klen (tunggal dadia). Strutur tunggal dadia ini berbeda-beda di berbagai tempat di Bali. Di desa-desa pegunungan, orang-orang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup neolokal, tidak usah lagi mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediamannya. didesa-desa tanah datar, orang-orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan mendirikan tempat pemujaan di masing-nasing kediamannya, yang disebut kemulan taksu.
Disamping itu, keluarga batih yang hidup neolokal masih mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap kuil asal (dadia atau sanggah) di rumah orang tua mereka.Suatu pura ditingkat dadia merayakan upacara-upacara sekitar lingkaran hidup dari semua warganya, dan dengan demikian pura/kuil tersebut mempersatukan dan mengintensifkan rasa solidaritet anggota-anggota dari suatu klen kecil.
Di samping itu ada lagi kelompok kerabat yang lebih besar yang melengkapi beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja kuil leluhur yang sama disebut kuil (pura) paibon atau panti. Dalam prakteknya, suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya mempersatukan suatu lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang masih dikenal hubungannya saja. Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu sejarah asal-usul yang ditulis dalam bentuk babad dan yang disimpan sebagai pusaka oleh salah satu dari keluarga-keluarga yang merasa dirinya senior, ialah keturunan langsung dan salah satu cabang yang tua dalam klen.

Sistem KemasyarakatanAtau Organisasi Sosial Orang Bali
1.      Banjar
Merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial itu diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagaman yang keramat. Didaerah pegunungan, sifat keanggotaan banjar hanya terbatas pada orang yang lahir di wilayah banjar tersebut. Sedangkan didaerah datar, sifat keanggotaannya tidak tertutup dan terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di banjar itu. Orang dari wilayah lain atau lahir di wilayah lain dan kebetulan menetap di banjar bersangkutan dipersilakan untuk menjadi anggota(krama banjar) kalau yang bersangkutan menghendaki.
Pusat dari bale banjar adalah bale banjar, dimana warga banjar bertemu pada hari-hari yang tetap. Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut kelian banjar. Ia dipilih dengan masa jabatab tertentu oleh warga banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dari banjar sebagai suatu komuniti, tapi juga lapangan kehidupan keagamaan. Kecuali itu ia juga harus memecahkan masalah yang menyangkut adat. Kadang kelian banjar juga mengurus hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
2.      Subak
Subak di Bali seolah-olah lepas dari dari Banjar dan mempunyai kepala sendiri. Orang yang menjadi warga subak tidak semuanya sama dengan orang yang menjadi anggota banjar. Warga subak adalah pemilik atau para penggarap sawah yang yang menerima air irigasinya dari dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua warga subak tadi hidup dalam suatu banjar. Sebaliknya ada seorang warga banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan mendapat air irigasi dari bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tersebtu akan menggabungkan diri dengan semua subak dimana ia mempunya sebidang sawah.
3.      Sekaha
Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali, ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah sekaha. Organisasi ini bersifat turun-temurun, tapi ada pula yang bersifat sementara. Ada sekaha yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenan dengan desa, misalnya sekaha baris (perkumpulan tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha tersebut sifatnya permanen, tapi ada juga sekaha yang sifatnya sementara, yaitu sekaha yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya sekaha memula (perkumpulan menanam), sekaha manyi (perkumpulan menuai), sekaha gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. sekaha-sekaha di atas biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas dari organisasi banjar maupun desa.
4.      Gotong Royong
Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat Bali dikenal sistem gotong royong (nguopin) yang meliputi lapangan-lapangan aktivitet di sawah (seperti menenem, menyiangi, panen dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur dan sebagainaya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. nguopin antara individu biasanya dilandasi oleh pengertian bahwa bantuan tenaga yang diberikan wajib dibalas dengan bantuan tenaga juga. kecuali nguopin masih ada acara gotong royong antara sekaha dengan sekaha. Cara serupa ini disebut ngedeng (menarik). Misalnya suatu perkumpulan gamelan ditarik untuk ikut serta dalam menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu upacara odalan. bentuk yang terakhir adalah kerja bhakti (ngayah) untuk keprluan agama,masyarakat maupun pemerintah.
Kesatuan-kesatuan sosial di atas, biasanya mempunyai pemimpin dan mempunyai kitab-kitab peraturan tertulis yang disebut awig-awig atau sima. Pemimpin biasanya dipilih oleh warganya. Klen-klen juga mempunyai tokoh penghubung yang bertugas memelihara hubungan antara warga-warga klen, menjadi penasehat bagi para warga mengenai seluk beluk adat dan peristiwa-peristiwa yang bersangkaut paut dengan klen. Tokoh klen serupa itu di sebut moncol. Klen tersebut tidak mempunyai peraturan tertulis, akan tetapi mempunya silsilah/babad. Ditingkat desa ada kesatuan-kesatuan administratif yang disebut perbekelan. Suatu perbekelan yang sebenarnya merupakan warisan dari pemerintah Belanda, diletakkan diatas kesatuan-kesatuan adat yang asli di Bali, seperti desa adat dan banjar. Maka terdapatlah gabungan-gabungan dari banjar dan desa ke dalam suatu perbekelan yang dipimpin oleh perbekel atau bendesa yang secara administratif bertanggung jawab terhadap atasannya yaitu camat, dan seterusnya camat bertanggung jawab kepada Bupati.

Fungsi dan Peran  Organisasi sosial dan Kekerabatan dalam Upacara Ngaben
Sebelum kita masuk lebih dalam tentunya kita sebaiknya terlebih dahulu memahami tentang apa itu organisasi sosial. Organisasi sosial dalam hal ini dapat dimaknai dengan melihat upacara ngaben yang dilaksanakan oleh para kerabat yang telah ditinggalkannya. Organisasi sosial merupakan sebuah susunan atau struktur yang terjadi dalam masyarakat dimana dalam sebuah struktur tersebut terdapat adanya pembagian tugas dan wewenang (Retno:2013). Dengan demikian dapat kita simpulkan tentang apa yang dimaksud fungsi dan peran Organisasi sosial dan kekerabatan dalam upacara Ngeben. Upacara ngaben yang dilakukan oleh masyarakat Bali tentunya dilakukan oleh kerabat-kerabat yang telah ditinggalkan. Dalam kerabat-kerabat tentunya masing-masing kerabat tersebut mempunyai peran dan fungsinya masing-masing.
Dalam upacara ngaben pada masyarakat Bali pada saat pelaksanaan ngaben tersebut kerabat yang ditinggalkan tentunya bertugas untuk menyiapkan segala keperluan yang diperlukan dalam serangkaian upacara ngaben tersebut. Pada saat pelaksanaan ngaben keluarga yang ditinggalkan tidak boleh untuk meneteskan air mata karena menurut kepercayaan masyarakat Bali, jika keluarga yang ditinggalkan itu meneteskan air mata maka dapat menghambat arwah orang yang meninggal untuk kembali kepada sang pencipta.  Dalam pelaksanaan ngaben juga dikenal hari baik. Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta. Di sini seorang pendeta berperan sebagi penentu hari dimana akan diadakannya ngaben dan tentunya hal itu atas permintaan kerabat dari orang yang meninggal. setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan "bade dan lembu" terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.
Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sbg simbol-simbol seperti halnya ritual lain yg sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yg meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yg tidak ada jenazahnya spt orang tewas terseret arus laut dan jenazah tdk diketemukan, kecelakaan pesawat yg jenazahnya sudah hangus terbakar, atau spt saat kasus bom Bali 1 dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.
Ngaben merupakan serangkaian upacara yang dilakukan masyarakat Bali, dalam rangkaian tersebut didalamnya terdapat pembakaran mayat karena dalam kepercayaan masyarakat Bali pembakaran mayat tersebut bertujuan untuk menghantarkan roh orang yang meninggal menuju sang pencipta(Joko Adi : 2013). Dalam rangkaian upacara ngaben tersebut juga memiliki fungsi sebagi status sosial apabila keluarga yang meninggal tersebut tergolong masyarakat yang berstatus atau berkasta tinggi maka pelaksanaan upacara ngaben akan dilakukan dengan besar dan meriah, sebaliknya jika orang yang meninggal itu tergolong masyarakat yang memiliki status sosial yang rendah atau berkasta rendah maka ngaben yang dilaksanakan akan sederhana. Jika keluarga tergolong mampu, Ngaben bisa dilaksanakan dengan cepat, dan tinggal menunggu hari baik yang telah ditentukan oleh Pedanda. Bila keluarga tergolong kurang mampu, jenazah dapat dikebumikan terlebih dahulu. Jika dana sudah memungkinkan untuk melaksanakan Ngaben, maka dilakukan upacara Asti Wedana, yaitu dengan cara mengupacarai tulangnya. Jika mungkin, dapat dilakukan upacara terhadap rohnya, dengan cara ngulapin atau ngangkid.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ngaben merupakan serangkaian upacara yang dilakukan masyarakat Hindhu Bali. Salah satu rangkaian dari upacara ngaben tersebut adalah upacara pembakaran mayat yang dimaksudkan untuk menghantarkan arwah orang yang meninggal untuk kembali ke sang pencipta. Dalam pelaksanaan ngaben ini terlihat sekali fungsi dari kekerabatan pada masyarakat Hindhu Bali. Masyarakat Hindhu Bali memang memegang teguh dalam hal masalah sistem kekerabatan mereka. Fungsi tersebut terlihat pada prosesi ngaben dimana para kerabat saling memegang peranan masing-masing dalam hal menyiapkan upacara ngaben tersebut. Masyarakat Hindhu Bali juga menganggap hubungan kekerabatan itu sangat penting, hal itu juga terbukti dalam masalah perkawinan masyarakat Bali yang menggunakan pola perkawinan Endogami. Dengan adanya pola perkawinan endogami ini dalam masyarakat Bali dimaksudkan agar dapat menjaga sistem kekerabatan mereka karena pada masyarakat Bali juga mengenal sistem kasta dimana masyarakat itu dibagi menjadi 4 kasta tersebut.
Masyarakat Bali adalah masyarakat yang menganut sistem Patrilineal, di mana masyarakat Bali mengambil garis keturunan itu dari garis laki-laki (ayah). Hal ini menyebabkan keberadaan laki-laki dalam konteks kekerabatan itu sangat penting bagi masyarakat suku bangsa Bali karena keberadaan laki-laki nantinya sebagai penerus garis keturunan dari keluarganya dan kasta mereka.



Daftar Pustaka :
·         http://wisatabali2010.wordpress.com/ritual-ngaben/ (diakses tanggal 12`april 2014)
·         http://www.mobilmurahbali.com/atraksi/ngaben.html (diakses tanggal 12 april 2014)
·         http://antro.fisip.unair.ac.id/interaksi.antro.php?id=36 (diakses tanggal  12 april 2014)
·         http://www.mobilmurahbali.com/atraksi/ngaben.html (diakses tanggal 13 april 2014 )

·         http://gennuss.blogspot.com/2013/12/sistem-kekerabatan-dan-pekawinan.html  (diakses tanggal 13 april 2014)

Friday 18 April 2014

Etnografi Indonesia, “Review Kuliah”
1.      Tari Yospan
Tarian pergaulan orang papua yang disebut dengan yospan. Yospan sendiri merupakan perpanjangan dari kata Yosim Pancar. Alias harmonisasi dari dua tarian rakyat Papua, Yosim dan Pancar. Tarian Yosim adalah tarian tua yang mirip dengan poloneis dari dansa Barat yang berasal dari daerah Sarmi, kabupaten di pesisir utara Papua. Sedangkan Yopan adalah gerakan gerakan yang diambil dari gerakan akrobatik pesawat tempur MIG dan dijadikan gerakan oleh penari. Nilai budaya yang terdapat pada tarian yospan, salah satunya adalah nilai kesenian dalam gerakan gerakan tari yospan mempunyai gerakan yang simpel dan sedikit mengadopsi gerakan akrobatik pesawat. Dan Tarian yospan juga digunakan sarana penghibur dalam acara seperti upacara tujuhbelasan ataupun acara seperti festifal.
2.      Rumah Kaki Seribu
Rumah Kaki Seribu adalah rumah tradisional masyarakat Arfak, komunitas terbesar di Manokwari. Nama asli dari rumah jenis ini adalah Mod Aki Aksa atau Igkojei. Nilai budaya terkandung dalam rumah kaki seribu ini adalah seni arsitektur pembangunan rumah yang memiliki Bangunan rata-rata berukuran 8×6 meter dengan tinggi atap sekitar 4 hingga 5 meter. Tiang-tiang kayu penyangga rumah diambil dari kayu hutan dengan diameter sekitar 10 cm dan disusun dengan jarak antar tiang kurang lebih 30 cm. Selain itu jelas dengan keunikan rumah ini, bisa mengundang wisatawan dari dalam negeri maupun luar negeri. Dengan banyaknya wisatawan yang datang untuk melihat rumah tersebut bisa mendongkrak popularitas Kota Manokwari dengan rumah kaki seribu yang unik.
3.      Tenun ikat Alfonso Horeng dari Flores

Kain tenun ikat yang berasal dari Desa Nita, kecamatan Nita, Kabupaten Sikka di Pulau Flores, NTT. Kain tenun ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan bisa dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian dari masyarakat setempat. Dilihat dari pembuatan kain yang lebih memilih bahan bahan yang berkwalitas, nama Alfonso Horeng adalah sebagai penghargaan terhadap orang yang melestarikan kain ikat dari Floles tersebut. Nilai budaya yang bisa dilihat dari kesenian kain tersebut adalah bisa digunakan untuk sistem mata pecaharian masyarakat Nita, Kab Sikka. Wisata yang bisa dikembangkan untuk menunjang penghasilan daerah Flores dan bisa menjadi salah satu kearifan lokal yang ada di Indonesia.
Resume Post-Moderisme
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna.
Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas.
Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Bagi kalangan ilmu sosial postmodernisme dengan metode dekontruksinya membuat kita berpikir mendasar tentang segala hal yang selama ini dianggap pasti, membuat kita peka terhadap pendapat lain, memacu dan menghidupkan sikap kritis dan hati-hati. Realitas tidak dipandang dengan sistem yang fungsional, postmodernisme mendorong melihat gejala sosial dengan metode yang berbeda.
Baudrillard terhadap realitas yang sesungguhnya itu, nampaknya sudah mencapai tahapan yang paling serius. Karena baginya, televisi yang telah mengkonstruksi segala jenis dan bentuk realitas. Mungkin karena sinismenya yang sudah begitu akut terhadap realitas, seperti Perang Teluk oleh Baudrillard justru dianggap sebagai simulasi. Perang Teluk tidak pernah ada, dan yang terjadi serta hadir di hadapan kita adalah semata-mata simulakra televisi, begitu ikrar Baudrillard. (Piliang, 2004, Ritzer dan Goodman, 2004: 642) Televisi menampilkan sesuatu yang melebihi realitas dari sesuatu yang sebenarnya terjadi.
Postmodernisme berperan dalam perkembangan ilmuan pengetahuan termasuk Antropologi. Antropologi harus menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi dan harus berperan dalam postmodernisme. Antropologi harus memiliki kemampuan yang sesuai dengan sesuatu hal yang terdapat dalam dunia sosial. Misal: Antropologi harus dapat meneliti perkembangan media dan pengaruhnya bagi masyarakat. Seorang antropolog harus mengikuti dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang lebih baik. Penilitian antropologi dilakukan diharapkan berguna buat ilmu lainnya (2005: 388). Perubahan sebesar apapun harus diikuti oleh antropoogi sebagai bidang ilmu melalui pengembangan kemampuan para antropolog agar tidak terjerat dengan mandulnya ilmu yang dimiliki.
Teori dan konsep harus dikembangkan agar antropologi terus hidup sebagai ilmu pengetahuan. Para antropolog harus mampu mengadopsi perubahan dunia yang mengancam kelangsuangan teori metode-metode dan praktik antropologi (2005: 391). Antropolog tidak hanya mendewakan antropologi dengan narasi besar yang dimiliki yang dianggap dapat menyelesaikan berbagai permasalahan. Antropolog sebagai ilmuan harus memiliki cara baru dan menciptakan teori baru untuk memecahkan permasalahan yang baru.
Daftar Isi
Saifuddin, Achmad Fedyani, Ph.D., Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana, 2005.
Piliang, Yasraf Amir, Posrealitas: Realitas kebudayaan dan era posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra,2004.
http://blogs.unpad.ac.id/phadli17/?p=25  diakses pada 05 desember 2013 pukul 20:10

Kebudayaan dan Kepribadian, Pengantar Antropologi
Dalam bahasa populer, istilah “kepribadian” juga berarti ciri-ciri watak seseorang individu yang konsisten yang memberikan kepadanya suatu identitas sebagai individu yang khusus, dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan rangsangan baik dari luar maupun dari dalam. Perkembangan kepribadian tersebut bersifat dinamis, artinya selama individu masih bertambah pengetahuannya dan mau belajar serta menambah pengalaman dan keterampilan, mereka akan semakin matang dan mantap kepribadiannya.
Berdasarkan pengertian diatas maka perilaku individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan akan berbeda-beda. Semua perilaku tersebut bersifat khas artinya hanya dimiliki oleh individu itu meskipun orang lain memiliki perilaku yang sama mungkin pemaknaannya berbeda, misalnya ada yang makan karena belum sarapan, ada yang makan karena ikut teman atau ada yang makan karena mengisi waktu saja. Kepribadian adalah ciri, karakteristik, gaya atau sifat-sifat yang memang khas dikaitkan dengan diri kita sendiri. Bahwa kepribadian itu bersumber dari bentukan yang kita terima di lingkungan jadi yang disebut kepribadian itu adalah campuran dari yang bersifat psikologis, kejiwaan dan juga fisik. Kepribadian seorang individu disesuaikan dengan system norma yang berlaku dalam masyarakat kesesuaian kepribadian dan nilai atau norma membutuhkan proses sosialisasi. Sifat kebudayaan yang dinamis juga memerlukan sosialisasi agar sesuai dengan kepribadian masyarakatnya. Saling keterkaitan antara kehidupan tersebut berlangsung terus dalam lingkaran kehidupan. Kebudayaan merupakan karakter masyarakat bukan karakter secara individual. Semua yang dipelajari dalam kehidupan sosial dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya merupakan kebudayaan. Kebudayaan selalu digunakan sebagai pedoman hidup artinya sebagai sarana untuk menyelenggarakan seluruh tata kehidupan warga masyarakat tersebut. Bagi generasi baru kebudayaan akan berfungsi membentuk atau mencetak pola-pola perilaku yang selanjutnya akan membentuk suatu kepribadian bagi warga generasi baru tersebut. Jelas bahwa dalam proses pembentukan kepribadian bagi seseorang, kebudayaan merupakan komponen yang akan menentukan bagaimana corak kepribadian dari warga masyarakat khususnya generasi baru.
Menurut Koentjaraningrat, suatu kebudayaan sering memancarkan suatu watak khas tertentu yang tampak dari luar. Watak inilah yang terlihat oleh orang asing. Watak khas itu sering tampak pada gaya tingkah laku masyarakatnya, kebiasaan-kebiasaannya, maupun dari hasil karya benda mereka.
                Opini manfaat dari Kebudayaan dan Kepribadian, Sebagian besar kepribadian banyak di pengaruhi dalam masa kanak-kanak hal itu ditentukan dengan bagaimana ia makan, bermain, berbicara, disiplin dan bergaul dengan anak-anak lain. Setelah anak itu dewasa, beberapa watak yang sama akan tampak menonjol pada banyak individu yang menjadi dewasa itu. Kepribadian akan mengacu pada ciri khas dan sifat seseorang, termasuk dalam konsepnya mewakili pola-pola pemikiran, perasaan, dan segala kebiasaan lainnya. Individu dan perilakunya tentunya akan di sesuaikan dengan masyarakat, lingkungan dan kebudayaan itu sendiri.  Kebudayaan sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian seseorang. Karena, kepribadian terbentuk karena adanya faktor lingkungan yang berdasar pada kebudayaan. Kebudayaan di setiap daerah berbeda-beda dan bermacam-macam, maka kepribadian yang ada pada masyarakat nya pun berbeda-beda. Contoh kebudayaan yang dapat membentuk kepribadian di suatu daerah sangat kental dengan kebudayaan toleransi, maka secara otomatis masyarakat nya akan membentuk kepribadian yang memiliki sifat toleransi terhadap sesama.
            Akan tetapi seiring perkembangan zaman, kebudayaan semakin hari semakin berkurang karena adanya pengaruh globalisasi. Sehingga kepribadian seseorang tidak hanya ditentukan oleh kebudayaan dari dalam lingkungan nya sendiri, tetapi dari lingkungan dan budaya luar. Untuk itu, kita harus lebih menghargai,menjaga dan melestarikan kebudayaan agar kepribadian kita masih berpegang teguh pada kebudayaan.
Daftar Pustaka
Koentjaranigrat. Pengantar Antropologi. Jakarta. PT. Rineka Cipta
Diakses pada  02 Oktober 2013/18.03 Kebudayaan dan Kepribadian http://ranggaindrasatria.blogspot.com/2011/12/pengertian-kepribadian-dan-kebudayaan.html Diakses pada  02 Oktober 2013/18.30 Hubungan Kebudayaan dan Keptribadian http://sukma-stc.blogspot.com/2012/05/hubungan-antara-kepribadian-dengan.html


Tugas Antropologi Agama
Ø  Fakta Sosial: Seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual. (Durkheim, 1895/111982: 13). Menurut Emile Durkheim sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari fakta sosial. Fakta sosial adalah cara bertindak, berpikir, dan mampu melakukan pemaksaan dari luar terhadap individu. Adapun ciri fakta sosial adalah:
a. Bersifat eksternal terhadap individu, artinya fakta sosial berada di luar individu. 
b. Bersifat memaksa individu. 
c. Bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat. 

Ø  Makna: sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistic. (Ferdinand De Saussure,1994:286). Menurut Ferdinand De Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur yakni: signife an signifiant. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Prancis. Yang dalam bahasa Inggris adalah signified untuk signife dan untuk signifier untuk dignifiant.
Artinya makna lahir dari konsep suatu tanda bunyi, yang terbentuk dari fonem-fonem yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiaptanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dari bahasa (intraligual), yang biasa merujuk atau mengacu kepada suatu relefan yang merupakan unsur luar biasa (extalinguall).
Ø  Simbol: sebagai ajang/tempat/wahana yang memuat suatu nilai bermakna (meaning). (Cliford Geertz).  Simbol adalah tanda untuk menunjukkan hubungan dengan acuhan dalam sebuah hasil konvensi atau kesepakatan bersama. (Helena). Contohnya adalah bahasa (verbal, non-verbal atau tulisan), dan juga benda-benda yang mewakili sebuah eksistensi yang secara tradisi telah disepakati.
istilah simbol sudah semenjak lama dinyatakan baik secara eksplisit. Edward Tylor, perintis antropologi abad ke-19, misalnya menulis : “kekuatan penggunaan kata-kata sebagai tanda untuk mengekspresikan pemikiran, yang dengan ekspresi itu bunyi tidak secara langsung menghubungkannya, sebenarnya sebagai simbol-simbol arbiter, adalah tingkat kemampuan khusus manusia yang tertinggi dalam bahasa, yang kehadirannya mengikat bersama semua ras manusia dalam kesatuan mental yang substansial.
Leslie White (1940), dalam suatu tulisan tentang manusia sebagai spesies yang mampu menggunakan simbol-simbol, menunjuk pentingnya konteks dalam makna simbol. Ernest Cassier (1944) berpendapat bahwa tanpa suatu kompleks simbol, pikiran rasional tidak akan mungkin terjadi. Manusia memiliki kemampuan untuk mengisolasi hubungan-hubungan dan mengembangkannya dalam makna abstrak. Cassier menunjuk geometric sebagai suatu contoh klasik. Geometrik secara konseptual berkaitan dengan hubungan-hubungan spasial yang ekspresinya adalah bahasa simbolik dan suatu bentuk representasi. Namun, sistem abstrak ini bisa diterapkan untuk membangun masalah-masalah. Cassier mengekspresikan hakikat simbolik pengalaman manusia sebagai berikut : “manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup dalam semesta simbolik. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dari semesta ini. Bagian-bagian dari semesta itu bagaikan aneka ragam benang yang terjalin membangun anyaman jaring-jaring simbolik. Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh manusia sebagai pengkhasan sesuatu yang lain yang mengandung kualitas-kualitas analisis logis atau melalui asosiasi-asosiasi dalam pikiran dan fakta.
Ø  Culture: istilah culture berasal dari bahasa Latin colere yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah pertanian.
Dalam arti kiasan kata itu juga berarti“pembentukan dan pemurnian jiwa
Seorang antropolog lain, E.B. Tylor (1871), dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture (New York; Brentano’s, 1924), hal 1, pernah mencoba memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai yaitu; “Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggot masyarakat”.  Pengertian Kebudayaan Menurut Para Ahli Barat
E. B. Tylor dalam buku “Primitif Culture”, bahwa kebudayaaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang lain serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.
R. Linton dalam buku “The Cultural Background of Personality’, bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku dan hasil laku, yang unsur – unsur pembentukan didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat  tertentu.
C. Klukhohn dan W.H. Kelly menyatakan kebudayaan adalah sebagai hasil tanya jawab dari para ahli antropologi, sejarah, hukum, psychologi, yang implisit dan eksplisit, rasional, irasional terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia.

Ø  Struktur Sosial: tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam suatu masyarakat. Secara harfiah, struktur bisa diartikan sebagai susunan atau bentuk. Struktur tidak harus dalam bentuk fisik, ada pula struktur yang berkaitan dengan sosial. Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Susunannya bisa vertikal atau horizontal. George Simmel: struktur sosial adalah kumpulan individu serta pola perilakunya. George C. Homans: struktur sosial merupakan hal yang memiliki hubungan erat dengan perilaku sosial dasar dalam kehidupan sehari-hari. William Kornblum: struktur sosial adalah susunan yang dapat terjadi karena adanya pengulangan pola perilaku undividu. Menurut Soerjono Soekanto (2002:68) struktur sosial diartikan sebagai hubungan timbal balik antarposisi sosial dan antarperan. Dengan demikian, pengertian struktur sosial dapat didefinisikan sebagai suatu tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan perilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat. Hendropuspito (1989) dalam bukunya ”Sosiologi Sistematik” mendefinisikan bahwa struktur sosial adalah skema penempatan nilainilai sosiobudaya dan organ-organ masyarakat pada posisi yang dianggap sesuai dengan berfungsinya organisme masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan demi kepentingan masing-masing. Bagian nilai-nilai sosial adalah ajaran agama, ideologi, kaidah-kaidah, moral, serta peraturan sopan santun yang dimiliki suatu masyarakat. Sementara itu organ-organ masyarakat tersebut berupa kelompok-kelompok sosial, institusi atau lembaga-lembaga sosial yang mengusahakan perwujudan nilai-nilai tertentu menjadi nyata dan dipakai dalam memenuhi kebutuhan.
Ø  Perubahan Budaya: Menurut Koentjaraningrat  adalah Perubahan budaya adalah proses pergeseran, pengurangan, penambahan, dan perkembangan unsur-unsur dalam suatu kebudayaan. Secara sederhana, perubahan budaya merupakan dinamika yang terjadi akibat benturan-benturan anta runsur budaya yang berbeda-beda. FAKTOR INTERNAL
PERUBAHAN DEMOGRAFIS
perubahan demografis disuatu daerah biasanya cenderung terus bertambah,akan mengakibatkan terjadinya perubahan diberbagai sektor kehidupan,contohnya : bidang perekonomian, pertambahan peduduk akan persediaan kebutuhan pangan,sandang dan papan.
KONFLIK SOCIAL
konflik social dapat mempengaruhi terjadinya perubahan dalam suatu masyarakat,contohnya : konflik kepentingan antara kaum pendatang dengan penduduk setempat didaerah transmigrasi,untuk mengatasinya pemerintah mengikutsertakan penduduk setempat dalam program pembangunan bersama-sama para transmigran.
BENCANA ALAM
bencana alam yang menimpa masyarakat dapat mempengaruhi perubahan contohnya : banjir,bencana longsor,letusan gunung berapi masyarakat akan dievakuasi dan dipindahkan ketempat yang baru,disanalah mereka harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat sehingga terjadi proses asimilisasi maupun alkuturasi.

PERUBAHAN LINGKUNGAN ALAM
ada beberapa faktor misalnya pendangkalan muara sungai yang membentuk delta,rusaknya hutan karena erosi,perubahan demikian dapat mengubah kebudayaan hal ini disebabkan karena kebudayaan mempunyai daya adaptasi dengan lingkungan setempat.
          2.FAKTOR EKSTERNAL
PERDAGANGAN
indonesia terletak pada jalur perdagangan asia timur dengan india,timur tengah bahkan eropa barat,itulah sebabnya indonesia sebagai persinggahan pendagang pendagang besar,selain berdagang mereka juga memperkenalkan budaya mereka pada masyarakat setempat sehingga terjadilah perubahan budaya.
PENYEBARAN AGAMA
masuknya unsur-unsur agama hindu dari india atau budaya arab bersamaan proses penyebaran agama hindu dan islam ke indonesia demikian pula masuknya unsur-unsur budaya barat melalui proses penyebaran agama kristen dan kalonialisme.
PEPERANGAN

kedatangan bangsa barat ke indonesia umumnya menimbulkan perlawanan keras dalam bentuk peperangan,dalam suasana tersebut ikut masuk pula unsur unsur budaya bangsa asing ke indonesia.