Friday 18 April 2014

Etnografi Indonesia, “Review Kuliah”
1.      Tari Yospan
Tarian pergaulan orang papua yang disebut dengan yospan. Yospan sendiri merupakan perpanjangan dari kata Yosim Pancar. Alias harmonisasi dari dua tarian rakyat Papua, Yosim dan Pancar. Tarian Yosim adalah tarian tua yang mirip dengan poloneis dari dansa Barat yang berasal dari daerah Sarmi, kabupaten di pesisir utara Papua. Sedangkan Yopan adalah gerakan gerakan yang diambil dari gerakan akrobatik pesawat tempur MIG dan dijadikan gerakan oleh penari. Nilai budaya yang terdapat pada tarian yospan, salah satunya adalah nilai kesenian dalam gerakan gerakan tari yospan mempunyai gerakan yang simpel dan sedikit mengadopsi gerakan akrobatik pesawat. Dan Tarian yospan juga digunakan sarana penghibur dalam acara seperti upacara tujuhbelasan ataupun acara seperti festifal.
2.      Rumah Kaki Seribu
Rumah Kaki Seribu adalah rumah tradisional masyarakat Arfak, komunitas terbesar di Manokwari. Nama asli dari rumah jenis ini adalah Mod Aki Aksa atau Igkojei. Nilai budaya terkandung dalam rumah kaki seribu ini adalah seni arsitektur pembangunan rumah yang memiliki Bangunan rata-rata berukuran 8×6 meter dengan tinggi atap sekitar 4 hingga 5 meter. Tiang-tiang kayu penyangga rumah diambil dari kayu hutan dengan diameter sekitar 10 cm dan disusun dengan jarak antar tiang kurang lebih 30 cm. Selain itu jelas dengan keunikan rumah ini, bisa mengundang wisatawan dari dalam negeri maupun luar negeri. Dengan banyaknya wisatawan yang datang untuk melihat rumah tersebut bisa mendongkrak popularitas Kota Manokwari dengan rumah kaki seribu yang unik.
3.      Tenun ikat Alfonso Horeng dari Flores

Kain tenun ikat yang berasal dari Desa Nita, kecamatan Nita, Kabupaten Sikka di Pulau Flores, NTT. Kain tenun ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan bisa dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian dari masyarakat setempat. Dilihat dari pembuatan kain yang lebih memilih bahan bahan yang berkwalitas, nama Alfonso Horeng adalah sebagai penghargaan terhadap orang yang melestarikan kain ikat dari Floles tersebut. Nilai budaya yang bisa dilihat dari kesenian kain tersebut adalah bisa digunakan untuk sistem mata pecaharian masyarakat Nita, Kab Sikka. Wisata yang bisa dikembangkan untuk menunjang penghasilan daerah Flores dan bisa menjadi salah satu kearifan lokal yang ada di Indonesia.
Resume Post-Moderisme
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna.
Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas.
Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Bagi kalangan ilmu sosial postmodernisme dengan metode dekontruksinya membuat kita berpikir mendasar tentang segala hal yang selama ini dianggap pasti, membuat kita peka terhadap pendapat lain, memacu dan menghidupkan sikap kritis dan hati-hati. Realitas tidak dipandang dengan sistem yang fungsional, postmodernisme mendorong melihat gejala sosial dengan metode yang berbeda.
Baudrillard terhadap realitas yang sesungguhnya itu, nampaknya sudah mencapai tahapan yang paling serius. Karena baginya, televisi yang telah mengkonstruksi segala jenis dan bentuk realitas. Mungkin karena sinismenya yang sudah begitu akut terhadap realitas, seperti Perang Teluk oleh Baudrillard justru dianggap sebagai simulasi. Perang Teluk tidak pernah ada, dan yang terjadi serta hadir di hadapan kita adalah semata-mata simulakra televisi, begitu ikrar Baudrillard. (Piliang, 2004, Ritzer dan Goodman, 2004: 642) Televisi menampilkan sesuatu yang melebihi realitas dari sesuatu yang sebenarnya terjadi.
Postmodernisme berperan dalam perkembangan ilmuan pengetahuan termasuk Antropologi. Antropologi harus menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi dan harus berperan dalam postmodernisme. Antropologi harus memiliki kemampuan yang sesuai dengan sesuatu hal yang terdapat dalam dunia sosial. Misal: Antropologi harus dapat meneliti perkembangan media dan pengaruhnya bagi masyarakat. Seorang antropolog harus mengikuti dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang lebih baik. Penilitian antropologi dilakukan diharapkan berguna buat ilmu lainnya (2005: 388). Perubahan sebesar apapun harus diikuti oleh antropoogi sebagai bidang ilmu melalui pengembangan kemampuan para antropolog agar tidak terjerat dengan mandulnya ilmu yang dimiliki.
Teori dan konsep harus dikembangkan agar antropologi terus hidup sebagai ilmu pengetahuan. Para antropolog harus mampu mengadopsi perubahan dunia yang mengancam kelangsuangan teori metode-metode dan praktik antropologi (2005: 391). Antropolog tidak hanya mendewakan antropologi dengan narasi besar yang dimiliki yang dianggap dapat menyelesaikan berbagai permasalahan. Antropolog sebagai ilmuan harus memiliki cara baru dan menciptakan teori baru untuk memecahkan permasalahan yang baru.
Daftar Isi
Saifuddin, Achmad Fedyani, Ph.D., Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana, 2005.
Piliang, Yasraf Amir, Posrealitas: Realitas kebudayaan dan era posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra,2004.
http://blogs.unpad.ac.id/phadli17/?p=25  diakses pada 05 desember 2013 pukul 20:10

Kebudayaan dan Kepribadian, Pengantar Antropologi
Dalam bahasa populer, istilah “kepribadian” juga berarti ciri-ciri watak seseorang individu yang konsisten yang memberikan kepadanya suatu identitas sebagai individu yang khusus, dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan rangsangan baik dari luar maupun dari dalam. Perkembangan kepribadian tersebut bersifat dinamis, artinya selama individu masih bertambah pengetahuannya dan mau belajar serta menambah pengalaman dan keterampilan, mereka akan semakin matang dan mantap kepribadiannya.
Berdasarkan pengertian diatas maka perilaku individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan akan berbeda-beda. Semua perilaku tersebut bersifat khas artinya hanya dimiliki oleh individu itu meskipun orang lain memiliki perilaku yang sama mungkin pemaknaannya berbeda, misalnya ada yang makan karena belum sarapan, ada yang makan karena ikut teman atau ada yang makan karena mengisi waktu saja. Kepribadian adalah ciri, karakteristik, gaya atau sifat-sifat yang memang khas dikaitkan dengan diri kita sendiri. Bahwa kepribadian itu bersumber dari bentukan yang kita terima di lingkungan jadi yang disebut kepribadian itu adalah campuran dari yang bersifat psikologis, kejiwaan dan juga fisik. Kepribadian seorang individu disesuaikan dengan system norma yang berlaku dalam masyarakat kesesuaian kepribadian dan nilai atau norma membutuhkan proses sosialisasi. Sifat kebudayaan yang dinamis juga memerlukan sosialisasi agar sesuai dengan kepribadian masyarakatnya. Saling keterkaitan antara kehidupan tersebut berlangsung terus dalam lingkaran kehidupan. Kebudayaan merupakan karakter masyarakat bukan karakter secara individual. Semua yang dipelajari dalam kehidupan sosial dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya merupakan kebudayaan. Kebudayaan selalu digunakan sebagai pedoman hidup artinya sebagai sarana untuk menyelenggarakan seluruh tata kehidupan warga masyarakat tersebut. Bagi generasi baru kebudayaan akan berfungsi membentuk atau mencetak pola-pola perilaku yang selanjutnya akan membentuk suatu kepribadian bagi warga generasi baru tersebut. Jelas bahwa dalam proses pembentukan kepribadian bagi seseorang, kebudayaan merupakan komponen yang akan menentukan bagaimana corak kepribadian dari warga masyarakat khususnya generasi baru.
Menurut Koentjaraningrat, suatu kebudayaan sering memancarkan suatu watak khas tertentu yang tampak dari luar. Watak inilah yang terlihat oleh orang asing. Watak khas itu sering tampak pada gaya tingkah laku masyarakatnya, kebiasaan-kebiasaannya, maupun dari hasil karya benda mereka.
                Opini manfaat dari Kebudayaan dan Kepribadian, Sebagian besar kepribadian banyak di pengaruhi dalam masa kanak-kanak hal itu ditentukan dengan bagaimana ia makan, bermain, berbicara, disiplin dan bergaul dengan anak-anak lain. Setelah anak itu dewasa, beberapa watak yang sama akan tampak menonjol pada banyak individu yang menjadi dewasa itu. Kepribadian akan mengacu pada ciri khas dan sifat seseorang, termasuk dalam konsepnya mewakili pola-pola pemikiran, perasaan, dan segala kebiasaan lainnya. Individu dan perilakunya tentunya akan di sesuaikan dengan masyarakat, lingkungan dan kebudayaan itu sendiri.  Kebudayaan sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian seseorang. Karena, kepribadian terbentuk karena adanya faktor lingkungan yang berdasar pada kebudayaan. Kebudayaan di setiap daerah berbeda-beda dan bermacam-macam, maka kepribadian yang ada pada masyarakat nya pun berbeda-beda. Contoh kebudayaan yang dapat membentuk kepribadian di suatu daerah sangat kental dengan kebudayaan toleransi, maka secara otomatis masyarakat nya akan membentuk kepribadian yang memiliki sifat toleransi terhadap sesama.
            Akan tetapi seiring perkembangan zaman, kebudayaan semakin hari semakin berkurang karena adanya pengaruh globalisasi. Sehingga kepribadian seseorang tidak hanya ditentukan oleh kebudayaan dari dalam lingkungan nya sendiri, tetapi dari lingkungan dan budaya luar. Untuk itu, kita harus lebih menghargai,menjaga dan melestarikan kebudayaan agar kepribadian kita masih berpegang teguh pada kebudayaan.
Daftar Pustaka
Koentjaranigrat. Pengantar Antropologi. Jakarta. PT. Rineka Cipta
Diakses pada  02 Oktober 2013/18.03 Kebudayaan dan Kepribadian http://ranggaindrasatria.blogspot.com/2011/12/pengertian-kepribadian-dan-kebudayaan.html Diakses pada  02 Oktober 2013/18.30 Hubungan Kebudayaan dan Keptribadian http://sukma-stc.blogspot.com/2012/05/hubungan-antara-kepribadian-dengan.html


Tugas Antropologi Agama
Ø  Fakta Sosial: Seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual. (Durkheim, 1895/111982: 13). Menurut Emile Durkheim sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari fakta sosial. Fakta sosial adalah cara bertindak, berpikir, dan mampu melakukan pemaksaan dari luar terhadap individu. Adapun ciri fakta sosial adalah:
a. Bersifat eksternal terhadap individu, artinya fakta sosial berada di luar individu. 
b. Bersifat memaksa individu. 
c. Bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat. 

Ø  Makna: sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistic. (Ferdinand De Saussure,1994:286). Menurut Ferdinand De Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur yakni: signife an signifiant. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Prancis. Yang dalam bahasa Inggris adalah signified untuk signife dan untuk signifier untuk dignifiant.
Artinya makna lahir dari konsep suatu tanda bunyi, yang terbentuk dari fonem-fonem yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiaptanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dari bahasa (intraligual), yang biasa merujuk atau mengacu kepada suatu relefan yang merupakan unsur luar biasa (extalinguall).
Ø  Simbol: sebagai ajang/tempat/wahana yang memuat suatu nilai bermakna (meaning). (Cliford Geertz).  Simbol adalah tanda untuk menunjukkan hubungan dengan acuhan dalam sebuah hasil konvensi atau kesepakatan bersama. (Helena). Contohnya adalah bahasa (verbal, non-verbal atau tulisan), dan juga benda-benda yang mewakili sebuah eksistensi yang secara tradisi telah disepakati.
istilah simbol sudah semenjak lama dinyatakan baik secara eksplisit. Edward Tylor, perintis antropologi abad ke-19, misalnya menulis : “kekuatan penggunaan kata-kata sebagai tanda untuk mengekspresikan pemikiran, yang dengan ekspresi itu bunyi tidak secara langsung menghubungkannya, sebenarnya sebagai simbol-simbol arbiter, adalah tingkat kemampuan khusus manusia yang tertinggi dalam bahasa, yang kehadirannya mengikat bersama semua ras manusia dalam kesatuan mental yang substansial.
Leslie White (1940), dalam suatu tulisan tentang manusia sebagai spesies yang mampu menggunakan simbol-simbol, menunjuk pentingnya konteks dalam makna simbol. Ernest Cassier (1944) berpendapat bahwa tanpa suatu kompleks simbol, pikiran rasional tidak akan mungkin terjadi. Manusia memiliki kemampuan untuk mengisolasi hubungan-hubungan dan mengembangkannya dalam makna abstrak. Cassier menunjuk geometric sebagai suatu contoh klasik. Geometrik secara konseptual berkaitan dengan hubungan-hubungan spasial yang ekspresinya adalah bahasa simbolik dan suatu bentuk representasi. Namun, sistem abstrak ini bisa diterapkan untuk membangun masalah-masalah. Cassier mengekspresikan hakikat simbolik pengalaman manusia sebagai berikut : “manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup dalam semesta simbolik. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dari semesta ini. Bagian-bagian dari semesta itu bagaikan aneka ragam benang yang terjalin membangun anyaman jaring-jaring simbolik. Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh manusia sebagai pengkhasan sesuatu yang lain yang mengandung kualitas-kualitas analisis logis atau melalui asosiasi-asosiasi dalam pikiran dan fakta.
Ø  Culture: istilah culture berasal dari bahasa Latin colere yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah pertanian.
Dalam arti kiasan kata itu juga berarti“pembentukan dan pemurnian jiwa
Seorang antropolog lain, E.B. Tylor (1871), dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture (New York; Brentano’s, 1924), hal 1, pernah mencoba memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai yaitu; “Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggot masyarakat”.  Pengertian Kebudayaan Menurut Para Ahli Barat
E. B. Tylor dalam buku “Primitif Culture”, bahwa kebudayaaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang lain serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.
R. Linton dalam buku “The Cultural Background of Personality’, bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku dan hasil laku, yang unsur – unsur pembentukan didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat  tertentu.
C. Klukhohn dan W.H. Kelly menyatakan kebudayaan adalah sebagai hasil tanya jawab dari para ahli antropologi, sejarah, hukum, psychologi, yang implisit dan eksplisit, rasional, irasional terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia.

Ø  Struktur Sosial: tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam suatu masyarakat. Secara harfiah, struktur bisa diartikan sebagai susunan atau bentuk. Struktur tidak harus dalam bentuk fisik, ada pula struktur yang berkaitan dengan sosial. Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Susunannya bisa vertikal atau horizontal. George Simmel: struktur sosial adalah kumpulan individu serta pola perilakunya. George C. Homans: struktur sosial merupakan hal yang memiliki hubungan erat dengan perilaku sosial dasar dalam kehidupan sehari-hari. William Kornblum: struktur sosial adalah susunan yang dapat terjadi karena adanya pengulangan pola perilaku undividu. Menurut Soerjono Soekanto (2002:68) struktur sosial diartikan sebagai hubungan timbal balik antarposisi sosial dan antarperan. Dengan demikian, pengertian struktur sosial dapat didefinisikan sebagai suatu tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan perilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat. Hendropuspito (1989) dalam bukunya ”Sosiologi Sistematik” mendefinisikan bahwa struktur sosial adalah skema penempatan nilainilai sosiobudaya dan organ-organ masyarakat pada posisi yang dianggap sesuai dengan berfungsinya organisme masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan demi kepentingan masing-masing. Bagian nilai-nilai sosial adalah ajaran agama, ideologi, kaidah-kaidah, moral, serta peraturan sopan santun yang dimiliki suatu masyarakat. Sementara itu organ-organ masyarakat tersebut berupa kelompok-kelompok sosial, institusi atau lembaga-lembaga sosial yang mengusahakan perwujudan nilai-nilai tertentu menjadi nyata dan dipakai dalam memenuhi kebutuhan.
Ø  Perubahan Budaya: Menurut Koentjaraningrat  adalah Perubahan budaya adalah proses pergeseran, pengurangan, penambahan, dan perkembangan unsur-unsur dalam suatu kebudayaan. Secara sederhana, perubahan budaya merupakan dinamika yang terjadi akibat benturan-benturan anta runsur budaya yang berbeda-beda. FAKTOR INTERNAL
PERUBAHAN DEMOGRAFIS
perubahan demografis disuatu daerah biasanya cenderung terus bertambah,akan mengakibatkan terjadinya perubahan diberbagai sektor kehidupan,contohnya : bidang perekonomian, pertambahan peduduk akan persediaan kebutuhan pangan,sandang dan papan.
KONFLIK SOCIAL
konflik social dapat mempengaruhi terjadinya perubahan dalam suatu masyarakat,contohnya : konflik kepentingan antara kaum pendatang dengan penduduk setempat didaerah transmigrasi,untuk mengatasinya pemerintah mengikutsertakan penduduk setempat dalam program pembangunan bersama-sama para transmigran.
BENCANA ALAM
bencana alam yang menimpa masyarakat dapat mempengaruhi perubahan contohnya : banjir,bencana longsor,letusan gunung berapi masyarakat akan dievakuasi dan dipindahkan ketempat yang baru,disanalah mereka harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat sehingga terjadi proses asimilisasi maupun alkuturasi.

PERUBAHAN LINGKUNGAN ALAM
ada beberapa faktor misalnya pendangkalan muara sungai yang membentuk delta,rusaknya hutan karena erosi,perubahan demikian dapat mengubah kebudayaan hal ini disebabkan karena kebudayaan mempunyai daya adaptasi dengan lingkungan setempat.
          2.FAKTOR EKSTERNAL
PERDAGANGAN
indonesia terletak pada jalur perdagangan asia timur dengan india,timur tengah bahkan eropa barat,itulah sebabnya indonesia sebagai persinggahan pendagang pendagang besar,selain berdagang mereka juga memperkenalkan budaya mereka pada masyarakat setempat sehingga terjadilah perubahan budaya.
PENYEBARAN AGAMA
masuknya unsur-unsur agama hindu dari india atau budaya arab bersamaan proses penyebaran agama hindu dan islam ke indonesia demikian pula masuknya unsur-unsur budaya barat melalui proses penyebaran agama kristen dan kalonialisme.
PEPERANGAN

kedatangan bangsa barat ke indonesia umumnya menimbulkan perlawanan keras dalam bentuk peperangan,dalam suasana tersebut ikut masuk pula unsur unsur budaya bangsa asing ke indonesia.
Teori-Teori Tentang Budaya
Roger M. Keesing

Pendahuluan
           
Tantangan masa kini adalah menemukan cara untuk mempertajam konsep "budaya", sedemikian rupa, sehingga konsep itu mempunyai cakupan [terdiri atas bagian-bagian] yang lebih sedikit tetapi mengungkapkan hal yang lebih banyak. Seperti dikatakan oleh Geertz (30, him. 4), "pemotongan konsep budaya . . . [ke dalam] satu konsep yang tajam, mengkhusus, dan secara teoritis lebih kuat adalah satu tema besar dalam perteorian antropologi modern". Pemikiran-pemikiran ini dapat dibagi ke dalam empat bidang yang utama. Setelah membicarakan dengan singkat perkembangan masing- masing bidang,3 saya akan mencoba menyoroti isu-isu terminologi, filosofi, dan substantif yang memisahkan ahli-ahli teori besar.
Budaya Sebagai Sistem Adaptif
            Satu perkembangan penting dalam teori kultural berasal dari aliran yang meninjau kebudayaan dari sudut pandangan evolusionari. Penerapan satu model evolusionari seleksi-alam atas dasar biologis terhadap bangunan kultural telah membuat ahli ahli antropologi bertanya dengan kearifan yang makin tinggi tentang cara bagaimana komuniti manusia mengembangkan pola-pola kultural tertentu. Penerapan satu model evolusionari seleksi-alam atas dasar biologis terhadap bangunan kultural telah membuat ahliahli antropologi bertanya dengan kearifan yang makin tinggi tentang cara bagaimana komuniti manusia mengembangkan pola-pola kultural tertentu. Pertama, setiap pemikiran bahwa apabila kita menguliti lapisan konvensi kultural maka pada akhirnya kita akan menemukan Primal man dan keadaan manusia yang bugil di dasarnya, merupakan pemikiran yang steril dan berbahaya. Kita memerlukan satu model interaksional yang kompleks, bukan satu pelapisan yang sederhana seperti itu (19, 25). Kedua, baik determinisme ekologis maupun determinisme kultural yang ekstrem sekarang dapat didukung oleh kepercayaan dan ideologi, tetapi tidak oleh ilmu pengetahuan yang arif bijaksana. Yang perlu untuk ditelusuri adalah cara-cara bagaimana garis acuan biologis ditransformasikan dan dikembangkan ke dalam pola-pola kultural; dan ini memerlukan rencana penelitian yang imajinasi dan hati-hati dan penyelidikan yang telaten, bukan polemik-polemik dan s ensasionalisme.
Teori-Teori Ideasional Mengenai Budaya
A)    Budaya Sebagai Sistem Kognitif
Budaya dipandang sebagai sistem pengetahuan. Menurut Ward Goodenough: Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dalam cara yang dapat diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya bukanlah suatu penomena material:
 dia tidak berdiri atas benda-benda, manusia, tingkah laku atau emosi-emosi. Budaya lebih merupakan organisasi dari hal-hal tersebut. Budaya adalah bentuk hal-hal yang ada dalam pikiran (mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima, menghubungkan, dan kemudian menafsirkan penomena material di atas (32, him. 167).
B)    Budaya Sebagai Sistem Struktural
Pikiran (mind) memaksakan tatanan yang terpola secara kultural (satu tatanan serba-dua yang kontras, satu tatanan hubungan dan transformasi) pada suatu dunia yang terus-menerus berubah. Jarak antara ranah kultural (di mana manusia memaksakan tatanan arbitrarinya) dan ranah alam, adalah satu pusat utama serba-dua yang simbolik. Levi-Strauss lebih memperhatikan "Budaya" daripada "sebuah budaya". Struktur ini
saling menghubungkan pola-pola organisasi kognitif individu-individu.
C)    Budaya Sebagai Sistem Simbolik
Geertz mengangggap pandangannya tentang budaya adalah semiotik. Mempelajari budaya berarti mempelajari aturan-aturan makna yang dimiliki bersama. Dengan meminjam satu arti "text" yang lebih luas dari Ricoeur, Geertz pada masa akhir-akhir ini menganggap satu kebudayaan sebagai "satu kumpulan teks."
D)    Budaya dan Sistem Sosiokultural

Apa yang dibicarakan oleh para ahli adaptasi kultural adalah dalam satu pengertian "sistem-sosiokultural-dalam-lingkungan". Sistem inilah yang adaptif atau maladaptif, dan tergantung dalam beberapa hal pada seleksi alam. Pola-pola ideasional untuk hidup, pola-pola makna dan sistem pengetahuan dan kepercayaan yang dimiliki bersama oleh subsistem sangat penting dari "cara-hidup dalam- lingkungan". Yang terakhir ini adalah sistem yang kompleks dalam pengertian cybernetic, dalam sirkuit -sirkuit yang kompleks menghubungkan subsistem-subsistem ekologi, demografi, ideasional, dan Iainlain. Bagaimana lingkaran-lingkaran ini saling berhubungan, bagaimana informasi keluar melalui lingkaran-lingkaran tersebut, dan bagaimana proses homeostasis dan perubahan yang terarah bekerja, adalah pertanyaanpertanyaan empiris bagi penelitian, bukan polemik ideologis dan pasal-pasal kesetiaan. [Harap dicatat bahwa konseptualisasi tentang budaya sebagai suatu sistem ideasional tidak berart i sama dengan perbedaan antara ranah ekonomi (secukup hidup, teknologi, organisasi sosial dari unit-unit produksi) dengan ranah ideasional (agama, ideologi, hukum, kesenian, dll), seperti yang dibuat oleh Harris dan beberapa ahli adaptasi kultural yang lain.
E)    Budaya Sebagai Sistem Ideasional : Paradoks dan Masalah

Pertama, struktur dari sistem kultural diciptakan, dibentuk, dan ditentukan oleh pikiran dan otak individu. Bentuk budaya tergantung pada apa yang dipikirkan, dibayangkan, dan dipelajari oleh individu manusia, dan juga pada apa yang dibentuk dan dipelihara oleh perilaku kolektif dalam pola kehidupan yang langgeng dalam ekosistem. Budaya harus merupakan sesuatu yang dipikirkan, yang dipelajari, dan yang dijalani dalam kehidupan sosial.
F)     Ke Arah Penyelesaian Konseptual

Budaya, dipandang sebagai satu sistem kompetensi yang dimiliki bersama, yang bervariasi antara individu pada hal-hal yang khusus, adalah bukan semua hal yang diketahui, dipikirkan, dan dipandang individu tentang dunianya. Budaya adalah teori seorang individu tentang apa yang diketahui, dipercayai, dan diartikan oleh masyarakatnya, teori individu tersebut tentang kode yang dipatuhi, tentang permainan yang dimainkan, di dalam masyarakat di mana dia lahir. Teori inilah yang di acu oleh seorang native actor dalam menafsirkan hal yang dia kurang akrab (atau hal yang membingungkan), dalam berinteraksi dengan orang asing (atau supernatural), dan dalam setting lain yang terletak di pinggir kehidupan yang digeluti sehari-hari.
Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah bahasa Madura?
2.      Bagaimana Dialek-dialek bahasa Madura?
3.      Dimana saja persebaran bahasa Madura?
Sistem Bahasa Madura
Bahasa Madura merupakan anak cabang dari bahasa Austronesia ranting Malayo-Polinesia, sehingga mempunyai kesamaan dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia. Bahasa Madura banyak terpengaruh oleh Bahasa JawaMelayuBugisTionghoa. Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk sistem hierarki berbahasa sebagai akibat pendudukan Mataram atas Pulau Madura. Banyak juga kata-kata dalam bahasa ini yang berakar dari bahasa Indonesia atau Melayu bahkan dengan Minangkabau, tetapi sudah tentu dengan lafal yang berbeda. Contoh :bhila (huruf "a" dibaca [e] (info) sama dengan,  bila = kapan oreng = orang, tadha' = tidak ada (hampir sama dengan kata tadak dalam Melayu Pontianak). Bahasa Madura memiliki sistem pelafalan yang unik. Begitu uniknya sehingga orang lain yang ingin mempelajari bahasa Madura akan mengalami kesulitan, khususnya dari segi penghapalan.
Bahasa Madura memiliki beberapa dialek, yaitu: Dialek Bangkalan, dialek Sampang, dialek Pamekasan, dialek Sumenep, dan dialek Kangean. Dialek yang dijadikan acuan standar Bahasa Madura adalah dialek Sumenep, karena Sumenep di masa lalu merupakan pusat kerajaan dan kebudayaan Madura. Sedangkan dialek-dialek lainnya merupakan dialek rural yang lambat laun bercampur seiring dengan mobilisasi yang terjadi di kalangan masyarakat Madura. Di Pulau Jawa, dialek-dialek tersebut seringkali bercampur dengan Bahasa Jawa sehingga kerap mereka lebih suka dipanggil sebagai Pendalungan daripada sebagai Madura. Masyarakat di Pulau Jawa, terkecuali daerah Situbondo, Bondowoso, dan bagian timur Probolinggo umumnya menguasai Bahasa Jawa selain Madura.
Bahasa Madura mempunyai penutur kurang lebih 14 juta orang, dan terpusat di Pulau Madura, Ujung Timur Pulau Jawa atau di kawasan yang disebut kawasan Tapal Kuda terbentang dari Pasuruan, Surabaya, Malang, sampai Banyuwangi, Kepulauan Masalembo, hingga Pulau Kalimantan. Bahasa Kangean, walau serumpun, dianggap bahasa tersendiri. Di Pulau Kalimantan, masyarakat Madura terpusat di kawasan Sambas, Pontianak, Bengkayang dan Ketapang, Kalimantan Barat, sedangkan diKalimantan Tengah mereka berkonsentrasi di daerah Kotawaringin Timur, Palangkaraya dan Kapuas. Namun kebanyakan generasi muda Madura di kawasan ini sudah hilang penguasaan terhadap bahasa ibu mereka.



Daftar Pustaka:
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Madura diakses pada 09/10/13 pukul 19:37

Geger Tengger
            Dari karya etnografi  yang ditulis oleh Robert W. Hefner “Geger Tengger: Pendahuluan: Jawa Pegunugan dalam Sejarah dan Teori Sosial.”  Dalam tulisan tersebut, Robert membahas tentang perubahan bentuk ekonomi dan masyarakat di Tengger pada tahun 1970-an. Selain membahas tentang perekonomian Masyarakat Tengger, Robet W. Hefner juga menganalisis tentang perubahan-perubahan politik dan islamisasi pada masyarakat Tengger yang dianalisis secara historisme dan konparatif. Robet W. Hefner membandingkan perubahan dari prakolonialisme sampai jaman sekarang. Masyarakat Tengger membedakan dirinya sebagai masyarakat gunung dan dataran rendah di Tengger.
            Permasalahan, masyarakat Tengger mempunyai permasalah yang sederhana yakni tentang perbedaan antara masyarakat gunung dan masyarakat dataran rendah di Tengger. Orang gunung tidak membedakan statifikasi sosial mereka memandang dirinya sama dengan yang lain, berbeda dengan halnya masyarakat dataran rendah yang masih sadar dengan status mereka yang menyebabkan masalah interaksi sosial dan hirarki. Dalam permasalahan yang diteliti dari segi historisme masyarakat Tengger mengalami perubahan ditengah arus ekonomi dan politik masyarakat Tengger yang dibebankan dengan masalah identitas interaksi sosial dan kemasyarakatan yang telah dijalankan oleh aktor.
“selama berabad-abad penduduk wilayah ini selalu menganggap diri mereka sebagai “orang gunung” (wong gunung) yang berbeda dengan “orang dataran rendah” (wong ngare). Istilah regionalis ini mereka gunakan untuk menunjukkan perbedaan dalam masalah hirarki dan pola interaksi, ... .” (Robert W Hefner;1999).
Setelah mendeskripsikan beberapa analisis dari masalah yang dihadapi oleh masyarakat pegunungan Tengger kemudian saya melanjutkan dengan mengkaji tentang masalah ekonomi masyarakat Tengger yang sebagian besar mengunakan mata pencaharian sebagai petani. Dalam tulisan Robet W. Hefner, menunjukkan bahwa petani masyarakat Tengger mengalami penurunan ekonomi mereka di bidang pertanian. Penyebab dari penurunan ekonomi masyarakat Tengger dibidang pertanian salah satunya adalah kolonialisme dan  penyempitan lahan karena para migran yang lapar-lahan menyerbu ke dataran tinggi.
“pada awalnya, wilayah yang ditanami itu hanya dihuni oleh sejumlah penduduk. Tetapi segera setelah itu, para migran yang lapar-lahan juga menyerbu kedataran tinggi. ...Wilayah lereng atas (divatas 1.200 meter) terhindar dari serbuan pendatang, karena hawanya terlalu dingin serta  ...dan karena pemerintah mengiginkan agar daerah itu menjadi kawasan reservasi hindu setempat. Sekalipun mereka luput dari serbuan pendatang, namun tidak lama kemudian komunitas jaw bukan-islam ini juga sepenuhnya merasakan dampak kolonialisme.” (Robert W Hefner;1999).

Selanjutnya dalam tulisan Robet W. Hefner tentang Geger Tengger, saya setelah membaca tulisan tersebut tidak menemukan teori yang digunakan oleh penulis dalam mengkaji masyarakat pegunungan Tengger. Dalam tulisan tersebut penulis, mengunkan metode etnografi dalam menjelaskan tulisannya tentang masyarakat Tengger. Dalam pemaparan tulisan tersebut penulis banyak mengkaji tentang perubahan  ekonomi, politik hingga keadaan statifikasi masyarakat Tengger dan hingga proses islamisasi di Tengger. Penulis juga membutuhkan waktu yang panjang untuk menyusun karya tulisan tesebut. Dalam prosesnya penulis melakukan penelitian secara langsung dengan wawancara mendalam dan berinteraksi dengan masyarakat Tengger.
Jawaban:
                        “Pada akhir tahun 1970-an sebagian besar ladang padi di jawa ditanami jenis padi baru..  separuh dari pertumbuhan tenaga kerja terjadi di sektor perdagangan kecil, jasa, dan industri kecil... kebanyakan dari para penumbuk padi itu adalah kaum perempuan tak bertanah atatu memiliki tanak sempit”.(Robert W Hefner;1999)
Dalam kutipan diatas dapat dipahami bahwa penulis menemukan permasalahan kasus yang terjadi dibidang ekonomi. Perubahan dan perkembangan masyarakat Tengger dianggap sebagai dasar permasalahan yang terjadi di masyarakat Tengger.          Oleh sebab itu Robert W Hefner mengungkapkan untuk mengatasi permasalahan ekonomi, pemerintah pada waktu itu melakukan perombakan politik yang dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh partai politik.
Setelah membaca tulisan Robet W. Hefner tentang Geger Tengger, saya menemukan  data dalam karya tulisan etnografi ini yang berbeda dengan tulisan yang lain adalah penulis menunjukkan permasalahan/jawaban dari artikel ini.
“pada awal tahun 1970-an dampak dari progam-progam ini mulai terasa di wilayah pegunungan di Jawa. Di pegunuggan Tengger, pembangunan jalan-jalan telah memudahkan transportasi kendaraan bermotor, barang-barang konsumsi, searta semakin banyaknya campur tangan pemerintah.” (Robert W Hefner;1999).

            Sedangkan klaim yang saya temukan dalam karya tulis etnografi yang ditulis oleh  Robet W. Hefner, yang menunjukkan pernyataan fenomena yang khas adalah komunitas agama siwa di Tengger.
“Di kawasan tertinggi di pegunungan Tengger, terdapat komunitas penganut agama siwa yang jelas-jelas bukan Islam yang bertahan hidup di tengah-tengah orang jawa” (Robert W Hefner;1999).
Dengan adanya argumentasi tersebut penulis juga bisa memahami masalah interaksi yang ada di massyarakat pegunungan Tengger, sehingga karya etnografi tersebut menjadi lebih interaktif dan menarik.
Dalam karya tulisan Etnografi tersebut saya mendapatkan Argumentasi, retorik atau organisasi tekstual yang ada di masyarakat pegunungan Tengger. Yang pertama saya kupas adalah tentang adanya argumentasi masyarakat Tengger yakni “orang dataran rendah lebih suka menjaga status mereka dari pada membuat orang lain betah”, kata seorang pegunungan. “yang mereka hargai”, kata-katanya lebih lanjut, adalah “pangkat, sedangkan orang gunung menganggap diri mereka semua sam, dan keturunan yang sama pula”. (Robert W Hefner;1999).
Kemudian mengenai retorik atau pengunaan kata atau bahasa, penulis mengunakan bahasa yang sederhana dan sistematis yang membandingkan dari tahun ke tahun. Secara keseluruhan penulis menyampaikan hasil karyanya dengan mengunakan bahasa yang formal sehingga pembaca dari tulisan ini bisa memahami secara baik. Selain itu penulis juga mengunakan istilah istilah yang biasa digunakan oleh masyarakat Tengger namun juga dibarengi dengan kosakata yang memudahkan pengertian dari kata yang asing bagi pembaca. Dalam organisasi tekstualnya penulis menggunkan sub bab yang berbeda pembahasanya namun mempunyai keterkaitan yang sesuai dengan tema. Dalam penyusunan paragraf juga sistematis yang saling berhubungan antar kasus. Dan secara umum organisasi tekstual dalam tulisan Geger Tengger yang ditulis Robert W Hefner, baik sebab mengunakan sub bab-sub bab yang berurutan dan dengan dipadukan penyusunan paragraf yang juga sistematis.
            Dalam karya tulisan Etnografi Geger Tengger yang ditulis Robert W Hefner, karya tulisan tersebut termasuk atau mengunakan Epistemologi Historisme yang dimana dalam pendeskripsian tentang masyarakat Tengger penulis banyak mengkaitkan hubungan sebab akibat antar gejala yang terjadi pada jaman dulu sampai dengan sekarang.  Selain mengunkan sebab akibat, dalam tulisa ini juga memaparkan perkembangan masyarakat Tengger dari masa lalu hingga masa kini yang di sajikan secara komparatif.
Rujukan:

Hefner, W, Robrt. 1999. “Geger Tengger : perubahan sosial dan perkelahian politik”
Suku Bawean
Orang Bawean bermukim di pulau yang luasnya 188,66 kilo meter persegi, dan terletak di utara pulau jawa yang masih termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Gresik. Pada mulanya pulau ini dihuni oleh penduduk yang berasal dari madura. Namun sekarang penduduk pulau ini tidak mau disebut sebagai keturunan Madura sebab mereka ini memandang bahwa mereka  merupakan hasil pembauran dengan para pendatang dari Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra sehingga lahirlah masyarakat yang menamai dirinya Bawean. Sebagian besar orang Bawean hidup dari pertanian sawah tegalan dan menangkap ikan (nelayan). Pertanian sawah ada yang dilakukan dengan setengah teknis dengan menggunakan irigasi, sedangkan sebagian lain merupakan sawah tadah hujan. Sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan dalam bidang ekonomi, orang bawean dikenal dengan budaya “merantau”nya, yang sudah ada sejak sekitar 150 tahun yang lalu. Orang bawean merantau antara lain ke Singapura, Malaysia, dan tentunya ke berbagai daerah Indonesia.waktu merantau orang bawean selalu menggunakan waktu yang panjang, sehingga kampung halaman mereka seolah-olah hanya sebagai tempat lahir dan untuk mati.
Pada awalnya orang Bawean menganut kepercayaan yang animistis. Kemudian masuk pengaruh hindu budha sesuai dengan peninggalan yang terdapat di desa Sidogedong Batu. Kini mereka menganut agama islam yang di perkirakan masuk sekitar tahun 1601. Pengalaman agama Islam di pulau Bawean terlihat sangat kuat, dapat dilihat dari banyaknya tempat-tempat ibadah, seperti masjid, langgar dan madrasah untuk anak-anak mempelajari pendidikan agama islam.
Dari karya etnografi positivisme yang ditulis oleh M. Yunus Melalatoa (1995) “Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia” dalam buku tersebut saya menganalisis tentang suku Bawean. Dalam buku, permasalan yang saya bahas pertama yakni tentang pendekatan. Pendekatan yang digunakan penulis adalah  positivistik yang menekankan pada gejala sosial-budaya yang merupakan bagian dari gejala alam, yang mengakibatkan sistem mata pencaharian masyarakat suku Bangsa Bawean sebagai perantau dan kemudian sebagian masyarakat lainnya memanfaatkan lingkungan tempat tinggal mereka dengan cara bercocok tanam dan nelayan..

“Keadaan alam pulau ini berbukit-bukit dengan puncak tertinggi hanya 655 meter di atas permukaan laut. Angin laut yang berhembus ke pulau itu dapat mengakibatkan curah hujan yang cukup tinggi pula. Iklim yang terwujud terasa segar dibandingkan dengan iklim di utara pulau jawa. Sebagian besar tanah di sekitar pantai merupakan lumpur dan pasir yang mengendap. Secara umum pulau ini tidak terlalu cocok untuk pertanian.” ”(Melalatoa,1995:139)

Dalam pembahasan tentang suku bangsa Bawean yang di tulis Melalatoa, beliau menggunakan konsep yang menganalisis tentang pola perilaku masyarakat Bawean yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi yakni dengan cara merantau. Masyarakat Bawean sering melakukan perantaun ke berbagai daerah di Indonesia dan ke luar negeri. Merantau sudah menjadi kebudayaan di masyarakat Bawean untuk memenuhi kebutuhannya. Bagi orang Bawean keinginan merantau sudah ditanamkan sejak kecil, hal ini yang menyebabkan orang Bawean terus menyebar ke seluruh daerah di Indonesia dan di Luar Indonesia.
“sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan dalam bidang ekonomi, orang Bawean dikenal dengan budaya “merantau”nya, yang sudah berlangsung sejak sekitar 150 tahun yang lalu. Mereka merantau antara lain ke Singapura dan Malaysia, dan tentunya ke daerah lain di Indonesia. Di Singapura mereka disebut Boyan. Waktu merantau itu ada yang jangka lama, sehingga Bawean sebagai kampung halaman seolah-olah hanya untuk tempat lahir dan untuk mati saja. Bagaimanapun selama di rantau selama puluhan tahun mereka ingin tetap kembali ke Bawean. Namun sebagian dari mereka merantau itu untuk sekedar mencari uang dan setelah dapat mereka kembali ke kampung.” (Melalatoa,1995:139)
Dalam sistem mata pencaharian masyarakat suku bangsa Bawean yang sebagian besar merantau, menunjukkan peningkatan pada setiap tahunnya hal itu yang menyebabkan orang asli Bawean yang masih tinggal di pulau Bawean lebih sedikit dari perantauan. Dan bahkan kisah merantau sudah menjadi bahan obrolan sehari-hari di langgar dan masjid, anak-anak suku bangsa Bawean sejak kecil sudah ditanamkan dan dikenalkan tentang merantau untuk kehidupanya kelak.
Pandangan tersebut terkait dengan teori Fungsionalisme dan Difusi dimana yang menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam membentuk keseimbangan, dan juga orang Bawean sebagai agen yang secara tidak langsung ikut menyebarkan budaya Bawean ke tempat baru yang di tempati si agen.
Hal ini yang menyebabkan dari tahun ketahun masyarakat suku bangsa Bawean terus mengalir untuk merantau sebab mereka sejak kecil sudah ditanami tentang budaya merantau yang sudah sejak lama dilakukan oleh nenek moyang mereka, yang telah menyebar di seluruh wilayah Indonesia dan bahkan sampai Singapur dan Malaysia, dan para pendahulunya atau familinya telah  mendapatkan kesuksesan dan mapan dalam pekerjaannya, itulah yang membuat orang Bawean tertarik untuk merantau. Faktor lain yang menyebabkan orang Bawean sering melakukan perantauan adalah karena memang di daerah mereka sulit untuk mengembangkan pertanian, dan kalau pun bisa itu harus dengan teknik tertentu. Karena Pulau Bawean tidak cocok dibuat untuk pertanian. Itulah yang sedang dijalankan dalam masyarakat Bawean untuk menjaga keseimbangan mereka dalam memenuhi kebutuhannya salah satunya dengan merantau dan menanamkan rasa merantau sejak kecil dan sudah dikatan sebagai budaya masyarakat Bawean.
“Menurut teori fungsionalisme memandang bahwa semua peristiwa dan struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dimana jika sekelompok masyarakat ingin  memajukan kelompoknya, mereka akan melihat apa yang akan di kembangkan dan tetap mempertahankan bahkan  melestarikan tradisi-tradisi dan budaya yang sudah berkembang dan menjadikannya sebagai alat modernisasi.” (Emile Durkheim)

Selain menganalisis tentang sistem mata pencaharian suku bangsa Bawean yang merantau, Melalatoa juga mengkaji tentang sistem religi yang ada di Bawean yang pada awal perkemangannya masyarakat Bawean menganut kepercayaan animistis. Dan kemudian masuklah hindu-budha sesuai peninggalan yang ada pada desa Sidogedong Batu. Tapi kini masyarakat Bawean menganut agama islam, yang diperkirakan sejak tahun 1601. Pengalaman agama terbilang cukup kuat dengan terlihat banyanya tempat-tempat ibadah seperti masjid, langgar dan madrasah. Anak laki-laki yang berusia enam tahun sudah mendapat pelajaran agama islam atau mengaji di langar. Dan anak-anak perempuan mendapat pelajaran mengaji dan menginap di rumah kiyai. Para kiyai cukup dihormati di masyarakat Bawean.
Dan sebenarnya ada keterkaitan antara masyarakat Bawean yang gemar merantau itu demi menyempurnakan agama mereka dengan melakukan haji. Menurut Richrad Weekes dalam bukunya Muslim People: A World Ethnographic Survey (Greenwood Press 1984), "Idealnya seorang Bawean hidup merantau khususnya di Singapura atau Malaysia untuk mendapat pengetahuan yang sempurna tentang Qur'an dan Hadist, melaksanakan ibadah Haji dan akhirnya pada masa tuanya menetap sebagai seorang Kiai di Bawean."
Dari penelitian yang sudah dilakukan oleh Richard Weeks, jelas adanya keterkaitan antara sistem mata pencaharian dan sistem religi yang ada di masyarakat Bawean.
            Metode yang dilakukan melalatoa dalam menyusun tulisan Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia, sub bab suku bangsa Bawean adalah dengan mengunakan metode kualitatif yakni peneliti terjun langsung dalam penelitiannya. Sehingga diharapkan peneliti dapat mendapatkan data yang mendalam.
            Dari berbagai masalah yang dikaji, kebudayaan suku bangsa Bawean mengalami perkembangan dari segi sistem mata pencaharian, sebab pola pikir masyarakat bawean untuk memenuhi kebutuhan hidup sudah terbangun sejak lama dari nenek moyang mereka yang senang merantau demi menyeimbangkan kehidupan mereka. Dan sebab itu pola pikir orang Bawean sampai saat ini masih terus berlanjut masa demi masa untuk mencukupi hidupnya, disamping itu faktor religi juga mendorong mereka untuk tambah yakin dengan apa yang mereka kerjakan demi untuk bisa menyempurnakan agama mereka untuk mendidik anaknya dan selanjutnya mereka bisa haji. dari tulisan Melalatoa, penulis ingin menunjukkan eksistensi masyarakat Bawean dengan sistem mata pencaharian sebagai perantau.
            Argumentasi, retorik dan organisasi tekstual, argumentasi yang mendukung tentang eksistensi merantau suku bangsa Bawean adalah dari data orang Bawean yang merantau ke Singapura dari tahun 1901 sebanyak 2.712 dan data terakhir telah sampai angka 70.000 orang pada tahun 1992. Sehingga tradisi merantau pada masyarakat Bawean sulit untuk bisa memudar, karena memang sejak kecil anak-anak Bawean sudah ditanamkan sikap untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara merantau.
Hubungan antar paragraf dalam suku bangsa Bawean yang ada pada buku Ensiklopedia Suku Bangsa Indonesia yang ditulis oleh Melalatoa (1995:139-140) bisa dikatakan sitematis, dengan paragraf pertama yang mejelaskan lingkungan alam, demografi masyarakat Bawean dan selanjutnya diisi dengan data-data yang mendukung seperti sensus penduduk dan unsur-unsur budaya di masyarakat Bawean yang menyertai tentang Sistem mata pencaharian, Organisasi sosial dan religi.
Permainan kata yang ada dalam tiap paragraf memang ada dan hanya beberapa yang menurut saya jelas yakni: Boyan (Orang Bawean yang merantau di Singapura), Kemas (orang palembang yang tinggal di Bawean) dan merantau (orang bawean yang mencari nafkaf ke Luar Pulau Bawean).
            Setelah membaca tulisan Melalatoa “Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia” dalam sub bab suku bangsa Bawean menunjukkan deskripsi yang menyeluruh dengan megkaji tentang unsur-unsur budaya suku bangsa Bawean. Tapi tidak semua unsur budaya yang dijelaskan hanya beberapa yakni sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan religi. Namun yang dikaji lebih mendalam, adalah tentang sistem mata pencaharian masyarakat Bawean yang senang merantau. Dan selain merantau masyarakat Bawean yang masih tinggal di pulau Bawean memanfaatkan alam mereka dengan bercocok tanam, pertanian tegalan, irigasi, tadah hujan dan nelayan. Ciri yang menyebabkan karya tulis ini sebagai positifistik adalah dengan adanya keterkaitan antara gejala-gejala alam dengan gejala-gejala sosial budaya yang bersifat empirik, keajekan/keterulangan hal itu yang menyebabkan prediksi positif.
Dalam tulisan Melalatoa yang menunjukkan sebagai karya etnogfrafi positivisme adalah “kisah merantau sudah merupakan bahan obrolan sehari-hari dilanggar dan di masjid.bagi orang Bawean keinginan merantau sudah ditanamkan sejak kecil dan telah menjadi bagian dari budaya mereka.”

Oleh sebab itu keselarasan dalam hidup dan pemahaman tentang lingkungan mereka tinggal itu penting, dengan menjaga kelestarian alam dengan lingungan sosial agar menciptakan masyarakat yang komplek yang bisa memberikan fungsi bagi masyarakat yang lain.