Kajian
Wisata di Lereng Merapi
Dari karya Etnografi yang ditulis
oleh Haddy Shri Ahimsa Putra dalam kajian “Etnowisata “Bencana” Kajian Wisata
di Lereng Merapi.” Dalam tulisan tersebut Haddy menyajikan hasil respon
kepariwisataan masyarakat Desa Umbulharjo, di Kecamatan Cangkringan, Sleman
yang terkena bencana letusan gunung merapi. Masyarakat lokal dan masyarakat
luar memandang bencana gunung merapi
dengan perspektif yang berbeda-beda. Dalam kajian ini penulis juga
menggambarkan tentang fenomena “wisata bencana” yang sedang terjadi di lereng
merapi.
Dalam
penelitian tersebut, Haddy menggunakan epistemologi Fenomenologi yang menitik
beratkan pada penjelasan realitas yang tampak dan berusaha memahami peristiwa dan
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Metode
yang digunakan penulis adalah metode partisipasi dari masyarakat sekitar,
obserfasi dan wawancara secara mendalam agar mendapatkan informasi yang lebih
kongkrit. Pendekatan yang digunakan oleh Haddy menggunakan pendekatan
Etnosains.
“Dalam etnosains,
para ahli antropologi berasumsi bahwa setiap individu dapat memiliki pendapat
dan pandangan yang berbeda mengenai hal yang sama. Setiap individu adalah khas,
baik dalam pandangan-pandanganya, nilai-nilai dan norma yang dianutnya maupun
dalam pola-pola perilakunya sehari-hari.” (Heddy Shri Ahimsa Putra 2012:108).
Permasalahan yang
saya bahas dalam tulisan tersebut adalah munculnya perekonomian baru yang pasca
bencana gunung merapi meletus yang terjadi disekitar lereng merapi. Masyarakat
Umbulharjo yang sebelumnya mempunyai mata pencaharian peternak sapai perah,
pertanian pangan dan perikanan kini memanfaatkan peristiwa merapi sebagai mata
pencaharian baru dengan pemenuhan wisata antara lain: atraksi wisata, fasilitas
wisata, dan layanan wisata yang sebagian besar dikelolah oleh masyarakat
setempat untuk membangun kembali kehidupan mereka.
“Ketika
itu mayoritas warga lereng merapi masih tinggal dipengungsian. Sebagai respon
terhadap banyakya orang yang mengunjungi desa mereka, sebagaian warga lokal
lantas menjadi pengojek untuk mengantarkan pengunjung ke lokasi yang saat itu
masih cukup sulit diakses. Beberapa warga menggelar daganganya atau membuka
lahan parkir memanfaatkan keramaian pengunjung. Ada pula warga yang meminta
minta dijalan jalan yang dilewati pengunjung.” (Heddy Shri Ahimsa Putra
2012:108).
Jawaban dari tulisan tersebut,
mengunakan pandangan emik dan etik yang menggolongkan pada sisi negatif dan
dari sisi positif dari fenomena di lereng merapi yang dinilai dari sudut
pengetahuan.
“Oleh
karena itu, sulit untuk dipungkiri bahwa bencana itu sendiri sebenarnya selalu menarik
perhatian manusia. Sebuah bencana tidak hanya menakutkan dan menyedihkan,
tetapi sekaligus juga sangat menarik.” (Heddy Shri Ahimsa Putra 2012:105).
Dari pandangan pertama yang ditulis
dalam artikel Ahimsa yang berjudul Etnowisata “Bencana” Kajian Wisata Di Lereng
Gunung Merapi mengangap bahwa, tindakan wisata yang dilakukan oleh orang-orang
itu kurang etis sebab dianggap bersenang-senang dalam penderitaan orang lain.
Namun dalam pandangan positif, orang yang melakukan wisata ke bencana merapi merupakan
tindakan empati yang dilakukan oleh warga yang tidak terkena dampak merapi
untuk melihat secara langsung dan ikut merasakan sehingga bisa menggulurkan
tangan dan membantu dengan perbendaan yang mereka miliki demi membangun
kehidupan warga lereng merapi.
“Mengetahui,
memahami sudut pandang orang setempat dan hubungannya dengan kehidupan untuk
mewujudkan, merealisasikan pandangannya tentang dunianya.” (Malinowski,
1961:25).
Data/klaim
yang terdapat pada artikel tersebut adalah tentang adanya organisaisi yang ada
pada masyarakat lokal yang memanfaatkan peristiwa merapi sebagai keuntungan
tersendiri.
“Organisaisi
yang turut andil dalam pengelolaan wisata bencana merapi 2010 ada tiga, pertama
adalah tim pengelola vulcano tour dari pemerintah Desa Umbul Harjo. Kedua
adalah paguyuban Kinahrejo yang mengelola wisata dikawasan padukuhan Palemsari.
Ketiga adalah paguyuban Pangukrejo. Keberadaan ketiga paguyuban ini berujung
pada hak yang masuk ke kas masing-masing.”
Argumentasi, yang
saya dapatkan dari tulisan tersebut adalah tentang masyarakat lokal menanggapi
merapi yang akan meletus.
“Pak
Asih melihat bahwa pada letusan yang lalu warga telah salah membuat prakiraan,
sehingga menimbulkan korban. Berdasarkan pengalaman awan panas dari merapi
tidak akan menerjang desa mereka sebelum ada lelahar lava pijar serta belum ada
guguran batu-batu besar”
Retorik yang
digunakan penulis untuk menyusun kaliamat dilakukan secara baik dan teratur,
diamana dalam setiap istilah yang digunakan dengan bahasa setempat selalu dijelaskan
dengan menggunakan bahasa yang formal sehingga pembaca diharapkan bisa
menggerti tiap kata yang ditulis dalam kajian tersebut.
Organisasi
tekstual, dalam tulisan tersebut jelas lebih terstruktur dimulai dengan
judul dan abstrak kemudian pendahuluan
yang dilanjutkan dengan pembahasan mendalam yang disususn dalam sub bab dalam
setiap pembahasan yang ada di lereng merapi dan ditutup dengan kesimpulan oleh
penulis. Penulis menggunakan istilah bahasa lokal kemudia ia artikan kedalam
bahasa Indonesia yang formal dan jelas serta di dukung dengan data data yang
telah diambil dari badan statistik yang sudah tersedia.
Dalam karya Etnografi yang ditulis
oleh Haddy Shri Ahimsa Putra dalam kajian “Etnowisata “Bencana” Kajian Wisata
di Lereng Merapi.” Bisa dikatankan sebagai etnografi yang mengunakan
epistemologi etnosains untuk mengungkap fenomena yang sedang terjadi di lereng
merapi. Penelitian ini dilakukan dengan paradigma etnosains yang melihat satu
fenomena yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda, namun tetap berhubungan
satu sama lain saling membangun untuk menciptakan pengetahuan yang lebih
menyeluruh.
Rujukan
Ahimsa-Putra,
H.S. 2012. Etnowisata “Bencana” Kajian Wisata di Lereng Merapi.
No comments:
Post a Comment