Friday, 18 April 2014

Kajian Wisata di Lereng Merapi
            Dari karya Etnografi yang ditulis oleh Haddy Shri Ahimsa Putra dalam kajian “Etnowisata “Bencana” Kajian Wisata di Lereng Merapi.” Dalam tulisan tersebut Haddy menyajikan hasil respon kepariwisataan masyarakat Desa Umbulharjo, di Kecamatan Cangkringan, Sleman yang terkena bencana letusan gunung merapi. Masyarakat lokal dan masyarakat luar  memandang bencana gunung merapi dengan perspektif yang berbeda-beda. Dalam kajian ini penulis juga menggambarkan tentang fenomena “wisata bencana” yang sedang terjadi di lereng merapi.
Dalam penelitian tersebut, Haddy menggunakan epistemologi Fenomenologi yang menitik beratkan pada penjelasan realitas yang tampak dan berusaha memahami peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Metode yang digunakan penulis adalah metode partisipasi dari masyarakat sekitar, obserfasi dan wawancara secara mendalam agar mendapatkan informasi yang lebih kongkrit. Pendekatan yang digunakan oleh Haddy menggunakan pendekatan Etnosains.
Dalam etnosains, para ahli antropologi berasumsi bahwa setiap individu dapat memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda mengenai hal yang sama. Setiap individu adalah khas, baik dalam pandangan-pandanganya, nilai-nilai dan norma yang dianutnya maupun dalam pola-pola perilakunya sehari-hari.” (Heddy Shri Ahimsa Putra 2012:108).
Permasalahan yang saya bahas dalam tulisan tersebut adalah munculnya perekonomian baru yang pasca bencana gunung merapi meletus yang terjadi disekitar lereng merapi. Masyarakat Umbulharjo yang sebelumnya mempunyai mata pencaharian peternak sapai perah, pertanian pangan dan perikanan kini memanfaatkan peristiwa merapi sebagai mata pencaharian baru dengan pemenuhan wisata antara lain: atraksi wisata, fasilitas wisata, dan layanan wisata yang sebagian besar dikelolah oleh masyarakat setempat untuk membangun kembali kehidupan mereka.
“Ketika itu mayoritas warga lereng merapi masih tinggal dipengungsian. Sebagai respon terhadap banyakya orang yang mengunjungi desa mereka, sebagaian warga lokal lantas menjadi pengojek untuk mengantarkan pengunjung ke lokasi yang saat itu masih cukup sulit diakses. Beberapa warga menggelar daganganya atau membuka lahan parkir memanfaatkan keramaian pengunjung. Ada pula warga yang meminta minta dijalan jalan yang dilewati pengunjung.” (Heddy Shri Ahimsa Putra 2012:108).
            Jawaban dari tulisan tersebut, mengunakan pandangan emik dan etik yang menggolongkan pada sisi negatif dan dari sisi positif dari fenomena di lereng merapi yang dinilai dari sudut pengetahuan.
“Oleh karena itu, sulit untuk dipungkiri bahwa bencana itu sendiri sebenarnya selalu menarik perhatian manusia. Sebuah bencana tidak hanya menakutkan dan menyedihkan, tetapi sekaligus juga sangat menarik.” (Heddy Shri Ahimsa Putra 2012:105).
           
            Dari pandangan pertama yang ditulis dalam artikel Ahimsa yang berjudul Etnowisata “Bencana” Kajian Wisata Di Lereng Gunung Merapi mengangap bahwa, tindakan wisata yang dilakukan oleh orang-orang itu kurang etis sebab dianggap bersenang-senang dalam penderitaan orang lain. Namun dalam pandangan positif, orang yang melakukan wisata ke bencana merapi merupakan tindakan empati yang dilakukan oleh warga yang tidak terkena dampak merapi untuk melihat secara langsung dan ikut merasakan sehingga bisa menggulurkan tangan dan membantu dengan perbendaan yang mereka miliki demi membangun kehidupan warga lereng merapi.
Mengetahui, memahami sudut pandang orang setempat dan hubungannya dengan kehidupan untuk mewujudkan, merealisasikan pandangannya tentang dunianya.” (Malinowski, 1961:25).

Data/klaim yang terdapat pada artikel tersebut adalah tentang adanya organisaisi yang ada pada masyarakat lokal yang memanfaatkan peristiwa merapi sebagai keuntungan tersendiri.
“Organisaisi yang turut andil dalam pengelolaan wisata bencana merapi 2010 ada tiga, pertama adalah tim pengelola vulcano tour dari pemerintah Desa Umbul Harjo. Kedua adalah paguyuban Kinahrejo yang mengelola wisata dikawasan padukuhan Palemsari. Ketiga adalah paguyuban Pangukrejo. Keberadaan ketiga paguyuban ini berujung pada hak yang masuk ke kas masing-masing.”

Argumentasi, yang saya dapatkan dari tulisan tersebut adalah tentang masyarakat lokal menanggapi merapi yang akan meletus.
“Pak Asih melihat bahwa pada letusan yang lalu warga telah salah membuat prakiraan, sehingga menimbulkan korban. Berdasarkan pengalaman awan panas dari merapi tidak akan menerjang desa mereka sebelum ada lelahar lava pijar serta belum ada guguran batu-batu besar”

Retorik yang digunakan penulis untuk menyusun kaliamat dilakukan secara baik dan teratur, diamana dalam setiap istilah yang digunakan dengan bahasa setempat selalu dijelaskan dengan menggunakan bahasa yang formal sehingga pembaca diharapkan bisa menggerti tiap kata yang ditulis dalam kajian tersebut.
            Organisasi tekstual, dalam tulisan tersebut jelas lebih terstruktur dimulai dengan judul dan  abstrak kemudian pendahuluan yang dilanjutkan dengan pembahasan mendalam yang disususn dalam sub bab dalam setiap pembahasan yang ada di lereng merapi dan ditutup dengan kesimpulan oleh penulis. Penulis menggunakan istilah bahasa lokal kemudia ia artikan kedalam bahasa Indonesia yang formal dan jelas serta di dukung dengan data data yang telah diambil dari badan statistik yang sudah tersedia.
            Dalam karya Etnografi yang ditulis oleh Haddy Shri Ahimsa Putra dalam kajian “Etnowisata “Bencana” Kajian Wisata di Lereng Merapi.” Bisa dikatankan sebagai etnografi yang mengunakan epistemologi etnosains untuk mengungkap fenomena yang sedang terjadi di lereng merapi. Penelitian ini dilakukan dengan paradigma etnosains yang melihat satu fenomena yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda, namun tetap berhubungan satu sama lain saling membangun untuk menciptakan pengetahuan yang lebih menyeluruh.

Rujukan

Ahimsa-Putra, H.S. 2012. Etnowisata “Bencana” Kajian Wisata di Lereng Merapi.

No comments:

Post a Comment