Suku Bawean
Orang
Bawean bermukim di pulau yang luasnya 188,66 kilo meter persegi, dan terletak
di utara pulau jawa yang masih termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten
Gresik. Pada mulanya pulau ini dihuni oleh penduduk yang berasal dari madura.
Namun sekarang penduduk pulau ini tidak mau disebut sebagai keturunan Madura
sebab mereka ini memandang bahwa mereka merupakan hasil pembauran dengan para
pendatang dari Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra sehingga lahirlah
masyarakat yang menamai dirinya Bawean. Sebagian besar orang Bawean hidup dari
pertanian sawah tegalan dan menangkap ikan (nelayan). Pertanian sawah ada yang
dilakukan dengan setengah teknis dengan menggunakan irigasi, sedangkan sebagian
lain merupakan sawah tadah hujan. Sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan dalam
bidang ekonomi, orang bawean dikenal dengan budaya “merantau”nya, yang sudah
ada sejak sekitar 150 tahun yang lalu. Orang bawean merantau antara lain ke
Singapura, Malaysia, dan tentunya ke berbagai daerah Indonesia.waktu merantau
orang bawean selalu menggunakan waktu yang panjang, sehingga kampung halaman
mereka seolah-olah hanya sebagai tempat lahir dan untuk mati.
Pada
awalnya orang Bawean menganut kepercayaan yang animistis. Kemudian masuk
pengaruh hindu budha sesuai dengan peninggalan yang terdapat di desa Sidogedong
Batu. Kini mereka menganut agama islam yang di perkirakan masuk sekitar tahun
1601. Pengalaman agama Islam di pulau Bawean terlihat sangat kuat, dapat dilihat
dari banyaknya tempat-tempat ibadah, seperti masjid, langgar dan madrasah untuk
anak-anak mempelajari pendidikan agama islam.
Dari
karya etnografi positivisme yang ditulis oleh M. Yunus Melalatoa (1995)
“Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia” dalam buku tersebut saya menganalisis
tentang suku Bawean. Dalam buku, permasalan yang saya bahas pertama yakni
tentang pendekatan. Pendekatan yang digunakan penulis adalah positivistik yang menekankan pada gejala
sosial-budaya yang merupakan bagian dari gejala alam, yang mengakibatkan sistem
mata pencaharian masyarakat suku Bangsa Bawean sebagai perantau dan kemudian
sebagian masyarakat lainnya memanfaatkan lingkungan tempat tinggal mereka
dengan cara bercocok tanam dan nelayan..
“Keadaan
alam pulau ini berbukit-bukit dengan puncak tertinggi hanya 655 meter di atas
permukaan laut. Angin laut yang berhembus ke pulau itu dapat mengakibatkan
curah hujan yang cukup tinggi pula. Iklim yang terwujud terasa segar
dibandingkan dengan iklim di utara pulau jawa. Sebagian besar tanah di sekitar
pantai merupakan lumpur dan pasir yang mengendap. Secara umum pulau ini tidak
terlalu cocok untuk pertanian.” ”(Melalatoa,1995:139)
Dalam
pembahasan tentang suku bangsa Bawean yang di tulis Melalatoa, beliau
menggunakan konsep yang menganalisis tentang pola perilaku masyarakat Bawean
yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi yakni dengan cara merantau.
Masyarakat Bawean sering melakukan perantaun ke berbagai daerah di Indonesia
dan ke luar negeri. Merantau sudah menjadi kebudayaan di masyarakat Bawean untuk
memenuhi kebutuhannya. Bagi orang Bawean keinginan merantau sudah ditanamkan
sejak kecil, hal ini yang menyebabkan orang Bawean terus menyebar ke seluruh
daerah di Indonesia dan di Luar Indonesia.
“sehubungan
dengan pemenuhan kebutuhan dalam bidang ekonomi, orang Bawean dikenal dengan
budaya “merantau”nya, yang sudah berlangsung sejak sekitar 150 tahun yang lalu.
Mereka merantau antara lain ke Singapura dan Malaysia, dan tentunya ke daerah
lain di Indonesia. Di Singapura mereka disebut Boyan. Waktu merantau itu ada
yang jangka lama, sehingga Bawean sebagai kampung halaman seolah-olah hanya
untuk tempat lahir dan untuk mati saja. Bagaimanapun selama di rantau selama
puluhan tahun mereka ingin tetap kembali ke Bawean. Namun sebagian dari mereka
merantau itu untuk sekedar mencari uang dan setelah dapat mereka kembali ke
kampung.” (Melalatoa,1995:139)
Dalam
sistem mata pencaharian masyarakat suku bangsa Bawean yang sebagian besar
merantau, menunjukkan peningkatan pada setiap tahunnya hal itu yang menyebabkan
orang asli Bawean yang masih tinggal di pulau Bawean lebih sedikit dari
perantauan. Dan bahkan kisah merantau sudah menjadi bahan obrolan sehari-hari
di langgar dan masjid, anak-anak suku bangsa Bawean sejak kecil sudah
ditanamkan dan dikenalkan tentang merantau untuk kehidupanya kelak.
Pandangan
tersebut terkait dengan teori Fungsionalisme dan Difusi dimana yang menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat
merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen
yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam membentuk keseimbangan, dan juga
orang Bawean sebagai agen yang secara tidak langsung ikut menyebarkan budaya
Bawean ke tempat baru yang di tempati si agen.
Hal ini yang menyebabkan dari tahun ketahun masyarakat suku
bangsa Bawean terus mengalir untuk merantau sebab mereka sejak kecil sudah
ditanami tentang budaya merantau yang sudah sejak lama dilakukan oleh nenek
moyang mereka, yang telah menyebar di seluruh wilayah Indonesia dan bahkan
sampai Singapur dan Malaysia, dan para pendahulunya atau familinya telah mendapatkan kesuksesan dan mapan dalam
pekerjaannya, itulah yang membuat orang Bawean tertarik untuk merantau. Faktor
lain yang menyebabkan orang Bawean sering melakukan perantauan adalah karena memang
di daerah mereka sulit untuk mengembangkan pertanian, dan kalau pun bisa itu
harus dengan teknik tertentu. Karena Pulau Bawean tidak cocok dibuat untuk
pertanian. Itulah yang sedang dijalankan dalam masyarakat Bawean untuk menjaga
keseimbangan mereka dalam memenuhi kebutuhannya salah satunya dengan merantau
dan menanamkan rasa merantau sejak kecil dan sudah dikatan sebagai budaya
masyarakat Bawean.
“Menurut teori fungsionalisme memandang bahwa semua peristiwa
dan struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dimana jika sekelompok
masyarakat ingin memajukan
kelompoknya, mereka akan melihat apa yang akan di kembangkan dan tetap
mempertahankan bahkan melestarikan
tradisi-tradisi dan budaya yang sudah berkembang dan menjadikannya sebagai alat
modernisasi.” (Emile Durkheim)
Selain
menganalisis tentang sistem mata pencaharian suku bangsa Bawean yang merantau,
Melalatoa juga mengkaji tentang sistem religi yang ada di Bawean yang pada awal
perkemangannya masyarakat Bawean menganut kepercayaan animistis. Dan kemudian
masuklah hindu-budha sesuai peninggalan yang ada pada desa Sidogedong Batu.
Tapi kini masyarakat Bawean menganut agama islam, yang diperkirakan sejak tahun
1601. Pengalaman agama terbilang cukup kuat dengan terlihat banyanya
tempat-tempat ibadah seperti masjid, langgar dan madrasah. Anak laki-laki yang
berusia enam tahun sudah mendapat pelajaran agama islam atau mengaji di langar.
Dan anak-anak perempuan mendapat pelajaran mengaji dan menginap di rumah kiyai.
Para kiyai cukup dihormati di masyarakat Bawean.
Dan
sebenarnya ada keterkaitan antara masyarakat Bawean yang gemar merantau itu
demi menyempurnakan agama mereka dengan melakukan haji. Menurut Richrad Weekes dalam bukunya Muslim People: A World Ethnographic
Survey (Greenwood Press 1984), "Idealnya
seorang Bawean hidup merantau khususnya di Singapura atau Malaysia untuk
mendapat pengetahuan yang sempurna tentang Qur'an dan Hadist, melaksanakan
ibadah Haji dan akhirnya pada masa tuanya menetap sebagai seorang Kiai di
Bawean."
Dari penelitian yang sudah dilakukan oleh Richard Weeks, jelas
adanya keterkaitan antara sistem mata pencaharian dan sistem religi yang ada di
masyarakat Bawean.
Metode yang
dilakukan melalatoa dalam menyusun tulisan Ensiklopedi Suku Bangsa
Indonesia, sub bab suku bangsa Bawean adalah dengan mengunakan metode
kualitatif yakni peneliti terjun langsung dalam penelitiannya. Sehingga
diharapkan peneliti dapat mendapatkan data yang mendalam.
Dari berbagai masalah yang dikaji,
kebudayaan suku bangsa Bawean mengalami perkembangan dari segi sistem mata
pencaharian, sebab pola pikir masyarakat bawean untuk memenuhi kebutuhan hidup
sudah terbangun sejak lama dari nenek moyang mereka yang senang merantau demi
menyeimbangkan kehidupan mereka. Dan sebab itu pola pikir orang Bawean sampai
saat ini masih terus berlanjut masa demi masa untuk mencukupi hidupnya, disamping
itu faktor religi juga mendorong mereka untuk tambah yakin dengan apa yang
mereka kerjakan demi untuk bisa menyempurnakan agama mereka untuk mendidik
anaknya dan selanjutnya mereka bisa haji. dari tulisan Melalatoa, penulis ingin
menunjukkan eksistensi masyarakat Bawean dengan sistem mata pencaharian sebagai
perantau.
Argumentasi,
retorik dan organisasi tekstual, argumentasi
yang mendukung tentang eksistensi merantau suku bangsa Bawean adalah dari data
orang Bawean yang merantau ke Singapura dari tahun 1901 sebanyak 2.712 dan data
terakhir telah sampai angka 70.000 orang pada tahun 1992. Sehingga tradisi
merantau pada masyarakat Bawean sulit untuk bisa memudar, karena memang sejak
kecil anak-anak Bawean sudah ditanamkan sikap untuk memenuhi kebutuhannya
dengan cara merantau.
Hubungan
antar paragraf dalam suku bangsa Bawean yang ada pada buku Ensiklopedia Suku
Bangsa Indonesia yang ditulis oleh Melalatoa (1995:139-140) bisa dikatakan
sitematis, dengan paragraf pertama yang mejelaskan lingkungan alam, demografi
masyarakat Bawean dan selanjutnya diisi dengan data-data yang mendukung seperti
sensus penduduk dan unsur-unsur budaya di masyarakat Bawean yang menyertai
tentang Sistem mata pencaharian, Organisasi sosial dan religi.
Permainan
kata yang ada dalam tiap paragraf memang ada dan hanya beberapa yang menurut
saya jelas yakni: Boyan (Orang Bawean
yang merantau di Singapura), Kemas
(orang palembang yang tinggal di Bawean) dan merantau (orang bawean yang mencari nafkaf ke Luar Pulau Bawean).
Setelah membaca tulisan Melalatoa
“Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia” dalam sub bab suku bangsa Bawean
menunjukkan deskripsi yang menyeluruh dengan megkaji tentang unsur-unsur budaya
suku bangsa Bawean. Tapi tidak semua unsur budaya yang dijelaskan hanya
beberapa yakni sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan religi. Namun
yang dikaji lebih mendalam, adalah tentang sistem mata pencaharian masyarakat
Bawean yang senang merantau. Dan selain merantau masyarakat Bawean yang masih
tinggal di pulau Bawean memanfaatkan alam mereka dengan bercocok tanam,
pertanian tegalan, irigasi, tadah hujan dan nelayan. Ciri yang menyebabkan
karya tulis ini sebagai positifistik adalah dengan adanya keterkaitan antara
gejala-gejala alam dengan gejala-gejala sosial budaya yang bersifat empirik,
keajekan/keterulangan hal itu yang menyebabkan prediksi positif.
Dalam
tulisan Melalatoa yang menunjukkan sebagai karya etnogfrafi positivisme adalah
“kisah merantau sudah merupakan bahan obrolan sehari-hari dilanggar dan di
masjid.bagi orang Bawean keinginan merantau sudah ditanamkan sejak kecil dan
telah menjadi bagian dari budaya mereka.”
Oleh
sebab itu keselarasan dalam hidup dan pemahaman tentang lingkungan mereka
tinggal itu penting, dengan menjaga kelestarian alam dengan lingungan sosial
agar menciptakan masyarakat yang komplek yang bisa memberikan fungsi bagi
masyarakat yang lain.
No comments:
Post a Comment