Friday, 18 April 2014

Suku Bawean
Orang Bawean bermukim di pulau yang luasnya 188,66 kilo meter persegi, dan terletak di utara pulau jawa yang masih termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Gresik. Pada mulanya pulau ini dihuni oleh penduduk yang berasal dari madura. Namun sekarang penduduk pulau ini tidak mau disebut sebagai keturunan Madura sebab mereka ini memandang bahwa mereka  merupakan hasil pembauran dengan para pendatang dari Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra sehingga lahirlah masyarakat yang menamai dirinya Bawean. Sebagian besar orang Bawean hidup dari pertanian sawah tegalan dan menangkap ikan (nelayan). Pertanian sawah ada yang dilakukan dengan setengah teknis dengan menggunakan irigasi, sedangkan sebagian lain merupakan sawah tadah hujan. Sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan dalam bidang ekonomi, orang bawean dikenal dengan budaya “merantau”nya, yang sudah ada sejak sekitar 150 tahun yang lalu. Orang bawean merantau antara lain ke Singapura, Malaysia, dan tentunya ke berbagai daerah Indonesia.waktu merantau orang bawean selalu menggunakan waktu yang panjang, sehingga kampung halaman mereka seolah-olah hanya sebagai tempat lahir dan untuk mati.
Pada awalnya orang Bawean menganut kepercayaan yang animistis. Kemudian masuk pengaruh hindu budha sesuai dengan peninggalan yang terdapat di desa Sidogedong Batu. Kini mereka menganut agama islam yang di perkirakan masuk sekitar tahun 1601. Pengalaman agama Islam di pulau Bawean terlihat sangat kuat, dapat dilihat dari banyaknya tempat-tempat ibadah, seperti masjid, langgar dan madrasah untuk anak-anak mempelajari pendidikan agama islam.
Dari karya etnografi positivisme yang ditulis oleh M. Yunus Melalatoa (1995) “Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia” dalam buku tersebut saya menganalisis tentang suku Bawean. Dalam buku, permasalan yang saya bahas pertama yakni tentang pendekatan. Pendekatan yang digunakan penulis adalah  positivistik yang menekankan pada gejala sosial-budaya yang merupakan bagian dari gejala alam, yang mengakibatkan sistem mata pencaharian masyarakat suku Bangsa Bawean sebagai perantau dan kemudian sebagian masyarakat lainnya memanfaatkan lingkungan tempat tinggal mereka dengan cara bercocok tanam dan nelayan..

“Keadaan alam pulau ini berbukit-bukit dengan puncak tertinggi hanya 655 meter di atas permukaan laut. Angin laut yang berhembus ke pulau itu dapat mengakibatkan curah hujan yang cukup tinggi pula. Iklim yang terwujud terasa segar dibandingkan dengan iklim di utara pulau jawa. Sebagian besar tanah di sekitar pantai merupakan lumpur dan pasir yang mengendap. Secara umum pulau ini tidak terlalu cocok untuk pertanian.” ”(Melalatoa,1995:139)

Dalam pembahasan tentang suku bangsa Bawean yang di tulis Melalatoa, beliau menggunakan konsep yang menganalisis tentang pola perilaku masyarakat Bawean yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi yakni dengan cara merantau. Masyarakat Bawean sering melakukan perantaun ke berbagai daerah di Indonesia dan ke luar negeri. Merantau sudah menjadi kebudayaan di masyarakat Bawean untuk memenuhi kebutuhannya. Bagi orang Bawean keinginan merantau sudah ditanamkan sejak kecil, hal ini yang menyebabkan orang Bawean terus menyebar ke seluruh daerah di Indonesia dan di Luar Indonesia.
“sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan dalam bidang ekonomi, orang Bawean dikenal dengan budaya “merantau”nya, yang sudah berlangsung sejak sekitar 150 tahun yang lalu. Mereka merantau antara lain ke Singapura dan Malaysia, dan tentunya ke daerah lain di Indonesia. Di Singapura mereka disebut Boyan. Waktu merantau itu ada yang jangka lama, sehingga Bawean sebagai kampung halaman seolah-olah hanya untuk tempat lahir dan untuk mati saja. Bagaimanapun selama di rantau selama puluhan tahun mereka ingin tetap kembali ke Bawean. Namun sebagian dari mereka merantau itu untuk sekedar mencari uang dan setelah dapat mereka kembali ke kampung.” (Melalatoa,1995:139)
Dalam sistem mata pencaharian masyarakat suku bangsa Bawean yang sebagian besar merantau, menunjukkan peningkatan pada setiap tahunnya hal itu yang menyebabkan orang asli Bawean yang masih tinggal di pulau Bawean lebih sedikit dari perantauan. Dan bahkan kisah merantau sudah menjadi bahan obrolan sehari-hari di langgar dan masjid, anak-anak suku bangsa Bawean sejak kecil sudah ditanamkan dan dikenalkan tentang merantau untuk kehidupanya kelak.
Pandangan tersebut terkait dengan teori Fungsionalisme dan Difusi dimana yang menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam membentuk keseimbangan, dan juga orang Bawean sebagai agen yang secara tidak langsung ikut menyebarkan budaya Bawean ke tempat baru yang di tempati si agen.
Hal ini yang menyebabkan dari tahun ketahun masyarakat suku bangsa Bawean terus mengalir untuk merantau sebab mereka sejak kecil sudah ditanami tentang budaya merantau yang sudah sejak lama dilakukan oleh nenek moyang mereka, yang telah menyebar di seluruh wilayah Indonesia dan bahkan sampai Singapur dan Malaysia, dan para pendahulunya atau familinya telah  mendapatkan kesuksesan dan mapan dalam pekerjaannya, itulah yang membuat orang Bawean tertarik untuk merantau. Faktor lain yang menyebabkan orang Bawean sering melakukan perantauan adalah karena memang di daerah mereka sulit untuk mengembangkan pertanian, dan kalau pun bisa itu harus dengan teknik tertentu. Karena Pulau Bawean tidak cocok dibuat untuk pertanian. Itulah yang sedang dijalankan dalam masyarakat Bawean untuk menjaga keseimbangan mereka dalam memenuhi kebutuhannya salah satunya dengan merantau dan menanamkan rasa merantau sejak kecil dan sudah dikatan sebagai budaya masyarakat Bawean.
“Menurut teori fungsionalisme memandang bahwa semua peristiwa dan struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dimana jika sekelompok masyarakat ingin  memajukan kelompoknya, mereka akan melihat apa yang akan di kembangkan dan tetap mempertahankan bahkan  melestarikan tradisi-tradisi dan budaya yang sudah berkembang dan menjadikannya sebagai alat modernisasi.” (Emile Durkheim)

Selain menganalisis tentang sistem mata pencaharian suku bangsa Bawean yang merantau, Melalatoa juga mengkaji tentang sistem religi yang ada di Bawean yang pada awal perkemangannya masyarakat Bawean menganut kepercayaan animistis. Dan kemudian masuklah hindu-budha sesuai peninggalan yang ada pada desa Sidogedong Batu. Tapi kini masyarakat Bawean menganut agama islam, yang diperkirakan sejak tahun 1601. Pengalaman agama terbilang cukup kuat dengan terlihat banyanya tempat-tempat ibadah seperti masjid, langgar dan madrasah. Anak laki-laki yang berusia enam tahun sudah mendapat pelajaran agama islam atau mengaji di langar. Dan anak-anak perempuan mendapat pelajaran mengaji dan menginap di rumah kiyai. Para kiyai cukup dihormati di masyarakat Bawean.
Dan sebenarnya ada keterkaitan antara masyarakat Bawean yang gemar merantau itu demi menyempurnakan agama mereka dengan melakukan haji. Menurut Richrad Weekes dalam bukunya Muslim People: A World Ethnographic Survey (Greenwood Press 1984), "Idealnya seorang Bawean hidup merantau khususnya di Singapura atau Malaysia untuk mendapat pengetahuan yang sempurna tentang Qur'an dan Hadist, melaksanakan ibadah Haji dan akhirnya pada masa tuanya menetap sebagai seorang Kiai di Bawean."
Dari penelitian yang sudah dilakukan oleh Richard Weeks, jelas adanya keterkaitan antara sistem mata pencaharian dan sistem religi yang ada di masyarakat Bawean.
            Metode yang dilakukan melalatoa dalam menyusun tulisan Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia, sub bab suku bangsa Bawean adalah dengan mengunakan metode kualitatif yakni peneliti terjun langsung dalam penelitiannya. Sehingga diharapkan peneliti dapat mendapatkan data yang mendalam.
            Dari berbagai masalah yang dikaji, kebudayaan suku bangsa Bawean mengalami perkembangan dari segi sistem mata pencaharian, sebab pola pikir masyarakat bawean untuk memenuhi kebutuhan hidup sudah terbangun sejak lama dari nenek moyang mereka yang senang merantau demi menyeimbangkan kehidupan mereka. Dan sebab itu pola pikir orang Bawean sampai saat ini masih terus berlanjut masa demi masa untuk mencukupi hidupnya, disamping itu faktor religi juga mendorong mereka untuk tambah yakin dengan apa yang mereka kerjakan demi untuk bisa menyempurnakan agama mereka untuk mendidik anaknya dan selanjutnya mereka bisa haji. dari tulisan Melalatoa, penulis ingin menunjukkan eksistensi masyarakat Bawean dengan sistem mata pencaharian sebagai perantau.
            Argumentasi, retorik dan organisasi tekstual, argumentasi yang mendukung tentang eksistensi merantau suku bangsa Bawean adalah dari data orang Bawean yang merantau ke Singapura dari tahun 1901 sebanyak 2.712 dan data terakhir telah sampai angka 70.000 orang pada tahun 1992. Sehingga tradisi merantau pada masyarakat Bawean sulit untuk bisa memudar, karena memang sejak kecil anak-anak Bawean sudah ditanamkan sikap untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara merantau.
Hubungan antar paragraf dalam suku bangsa Bawean yang ada pada buku Ensiklopedia Suku Bangsa Indonesia yang ditulis oleh Melalatoa (1995:139-140) bisa dikatakan sitematis, dengan paragraf pertama yang mejelaskan lingkungan alam, demografi masyarakat Bawean dan selanjutnya diisi dengan data-data yang mendukung seperti sensus penduduk dan unsur-unsur budaya di masyarakat Bawean yang menyertai tentang Sistem mata pencaharian, Organisasi sosial dan religi.
Permainan kata yang ada dalam tiap paragraf memang ada dan hanya beberapa yang menurut saya jelas yakni: Boyan (Orang Bawean yang merantau di Singapura), Kemas (orang palembang yang tinggal di Bawean) dan merantau (orang bawean yang mencari nafkaf ke Luar Pulau Bawean).
            Setelah membaca tulisan Melalatoa “Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia” dalam sub bab suku bangsa Bawean menunjukkan deskripsi yang menyeluruh dengan megkaji tentang unsur-unsur budaya suku bangsa Bawean. Tapi tidak semua unsur budaya yang dijelaskan hanya beberapa yakni sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan religi. Namun yang dikaji lebih mendalam, adalah tentang sistem mata pencaharian masyarakat Bawean yang senang merantau. Dan selain merantau masyarakat Bawean yang masih tinggal di pulau Bawean memanfaatkan alam mereka dengan bercocok tanam, pertanian tegalan, irigasi, tadah hujan dan nelayan. Ciri yang menyebabkan karya tulis ini sebagai positifistik adalah dengan adanya keterkaitan antara gejala-gejala alam dengan gejala-gejala sosial budaya yang bersifat empirik, keajekan/keterulangan hal itu yang menyebabkan prediksi positif.
Dalam tulisan Melalatoa yang menunjukkan sebagai karya etnogfrafi positivisme adalah “kisah merantau sudah merupakan bahan obrolan sehari-hari dilanggar dan di masjid.bagi orang Bawean keinginan merantau sudah ditanamkan sejak kecil dan telah menjadi bagian dari budaya mereka.”

Oleh sebab itu keselarasan dalam hidup dan pemahaman tentang lingkungan mereka tinggal itu penting, dengan menjaga kelestarian alam dengan lingungan sosial agar menciptakan masyarakat yang komplek yang bisa memberikan fungsi bagi masyarakat yang lain.

No comments:

Post a Comment