Saturday 7 October 2017

UPACARA NYANGGRING (STUDI DESKRIPTIF DI DESA TLEMANG, KECAMATAN NGIMBANG KABUPATEN LAMONGAN)

Disusun Oleh : MOH. LUDFIDIANTO



ABSTRAK
Upacara nyanggring merupakan sebuah ritual upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlemang Kecamatan Ngimbang Kabupaten Lamongan. Upacara nyanggring dijadikan masyarakat sebagai sebuah tradisi yang dilakukan selama setahun sekali setianp tanggal 24 djumadil awal sampai 27 djumadil awal. Penulisan ini mengungkapkan bentuk upacara nyanggring dan fungsi spiritual serta fungsi sosial budaya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan observasi, wawancara mendalam, studi pustaka dan dokumentasi. Adapun teori yang peneliti gunakan untuk menganalisis data ini adalah teori fungsionalisme  kebudayaan dari Malinowski dan Radclife Brown. Hasil dari penelitian ini bahwa upacara nyanggring memeiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan akan keselamatan, rizki dan kesejahteraan serta tehindar dari musibah bencana alam. Selain itu upacara nyanggring juga dikenal masyarakat Desa Tlemang sebagai mendhak atau haul leluhur dhayang mereka yaitu Ki Buyut Terik. Dalam upacara nyanggring ternyata memiliki fungsi spiritual dan sosial budaya. Fungsi spiritual yaitu dapat membangkitkan emosi masyarakat saat mengikuti upacara sehingga mereka merasa aman, nyaman dan tentram. Fungsi sosial budaya dalam upacara nyanggring terkandung dalam nilai-nilai yang ada dalam upacara seperti nilai kebersamaan, gotong-royong, solidaritas dan pengorbanan. Upacara nyanggring juga dipertahankan oleh masyarakat supaya dapat dijadikan sebagai identitas budaya mereka. Upacara nyanggring diikuti oleh seluruh warga masyarakat Desa Tlemang dan terdapat pula para pengunjung dari luar desa bahkan luar kota yang ikut bersama-sama mengikuti proses tahapan upacara nyanggring yaitu ngalab berkah supaya mendapatkan keberkahan dalam menjalani kehidupannya, oleh karena itu upacara nyanggring bisa di manfaatkan masyarakat Desa Tlemang sebagai objek wisata realigi.

Kata Kunci : Upacara adat, deskripsi, fungsi spiritual dan fungsi sosial budaya.



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 
Upacara adat merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun. Di jalankannya upacara adat pada suatu masyarakat, memiliki dasar kuat yang ada pada masyarakat pendukungnya. Hal-hal yang melatarbelakangi suatu upacara adat berjalan secara turun-temurun biasanya terdapat sesuatu hal yang diyakini atau dipercayai. Kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat berdasarkan adanya keyakinan terhadap sesuatu yang memiliki kekuatan melebihi manusia. Kekuatan itu adalah kekuatan dari roh-roh ghaib yang dianggap memiliki kekuasaan atas alam semesta ini. Kekuatan tersebut bersifat supranatural dan datangnya dari alam maupun dari langit yang bersifat positif maupun negatif bagi lingkungan alam. Sehingga untuk menghindari dampak negatif yang akan di alami oleh masyarakat, maka mereka menggelar sebuah upacara adat untuk berkomunikasi dengan sesuatu yang memiliki kekuatan melebihi manusia tersebut. Oleh karena kepercayaan itu masyarakat menggelar upacara adat secara turun-temurun sebagai bentuk kebaktiannya kepada roh-roh tersebut.
Upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk komunikasi terhadap sesuatu yang memiliki kekuatan melebihi manusia. Bentuk komunikasinya berupa pemujaan dan memanjatkan do’a-do’a yang dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat yang lain. Selain itu terdapat sesaji-sesaji yang mengandung makna maupun fungsi masing-masing. Selain sebagai bentuk komunikasi upacara adat juga dijadikan sebagai sebuah penghormatan kepada leluhur mereka. Hal ini dikarenakan leluhur mereka merupakan seorang yang menjaga wilayahnya dan mendo’akannya supaya arwah leluhur mereka diberikan tempat yang terbaik di sisi Tuhan. Seperti hal nya upacara yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlemang Kecamatan Ngimbang Kabupaten Lamongan yaitu Upacara Nyanggring.
Upacara nyanggring merupakan upacara adat yang dilakukan pada tanggal 24 Djumadil Awal - 27 Djumadil Awal. Menurut Indiyanto dkk (2012 : 18) upacara nyanggring dikenal sebagai haul Ki Buyut Terik, selain itu masyarakat juga mengenal sebagai upacara mendhak. Dalam hal ini arti mendhak bukan untuk memperingati hari kematian seseorang.  Menurut Rudjiati (1991 : 23 ) mengatakan bahwa :
“upacara mendhak atau nyanggring bukan untuk selamatan memperingati hari kematian seseorang tokoh, akan tetapi dalam artian untuk memperingati hari wisudahnya Ki Buyut Terik, wisudah yang dimaksudkan disini adalah penghargaan yang diberikan oleh Sunan Giri kepada Ki Buyut Terik atas penumpasan genk kapak brandal”.
Di Desa Tlemang terdapat seorang tokoh pendiri desa atau dhanyang desa. Pendiri desa atau dhanyang biasanya kalau meninggal di makamkan secara terpisah dengan makam warga yang lain. Hal ini meunjukan bahwa makam tersebut di kramatkan. Seperti halnya Desa Tlemang terdapat makam dhanyang mereka yaitu Ki Buyut Terik yang di kramatkan. Mitos masyarakat Desa Tlemang bahwa tempat ini dikramatkan, menurut cerita rakyat bahwa orang suci atau ulama besar jika meninggal harus dikramatkan dan jika mau memasuki makam tersebut harus melalui juru kunci atau pada saat hari haul dhanyang mereka (wawancara dengan Bapak Mujiono, 16 Februari 2016 : MJ 0114 - 0119).
Masyarakat Desa Tlemang sangat mengagumi sosok Ki Buyut Terik yang merupakan seorang ulama besar yang sakti dan berasal dari Kerajaan Mataram Islam. Ki Buyut Terik adalah salah satu seorang ulama penyiar agama islam di daerah Jawa Timur. Masyarakat sangat percaya dengan kekuatan yang dimiliki oleh Ki Buyut Terik. Pada saat agresi militer Belanda, Desa Tlemang sempat di bom oleh tentara Belanda namun ternyata masyarakat yang berlindung didalam area makam ini selamat dari malapetaka tersebut (wawancara dengan Bapak Waepan, 20 Februari 2016 : WA 0243-0259). Masyarakat Desa Tlemang percaya bahwa makam Ki Buyut Terik hanya boleh dimasuki satu kali dalam setahun yaitu pada saat upacara nyanggring, jika hal ini dilanggar maka orang yang memasuki makam ini akan mengalami bencana bahkan sampai kepada kematian (wawancara dengan Aris, 4 Maret 2016 : AR 0923-0929 ). Upacara nyanggring yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlemang memiliki tahapan-tahapan yang berkaitan dengan sejarah leluhur atau dhanyang mereka yaitu Ki Buyut Terik. 
Upacara nyanggring terdapat 6 (enam) tahapan yang harus dilakukan (wawancara  Bapak Mujiono, 16 Februari 2016 : MJ 0051-0059). Adapun 6  (enam) tahapan tersebut yang pertama adalah duduk sendhang merupakan ritual pembuka upacara nyangring atau haul Ki Buyut Terik. Desa Tlemang memiliki 2 (dua) sendhang yaitu sendhang laki-laki dan sendhang perempuan. Ritual selanjutnya adalah babat cungkup merupakan urutan kedua dari proses upacara/haul Ki Buyut Terik, babat cungkup ini dimaksudkan untuk membersihkan makam Ki Buyut Terik. Tahapan upacara selanjutnya adalah slametan daging kambing atau syukuran yang digelar dirumah Bapak Kepala Desa Tlemang. Setelah itu ada Pagelaran wayang krucil dilaksanakan pada hari ketiga, wayang krucil merupakan wayang yang terbuat dari kayu. Masyarakat menggelar wayang krucil ini sudah turun-temurun dari nenek moyang. Selanjutnya adalah ritual yang sangat menarik yaitu pembuatan sayur sanggring yang dilaksanakan pada hari ke empat sebagai acara inti dalam upacara atau haul Ki Buyut Terik. Pembuatan sayur sanggring ini di iringi oleh pagelaran wayang krucil dan berada tepat disebelah kiri panggung wayang krucil. Ritual selanjutnya adalah ziarah ke makam Ki Buyut Terik sekaligus selametan di makam yang merupakan proses terakhir upacara adat nyanggring atau haul Ki Buyut Terik. Dalam upacara ini tentunya terdapat adanya mitos-mitos yang dipercaya masyarakat.
Upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat memiliki banyak hal-hal yang di anggap tabuh tetapi masyarakat percaya akan kebenarannya. Hal-hal tabuh tersebut tertuang pada norma-norma dalam upacara adat yang berupa adanya pantangan-pantangan yang harus dihindari oleh masyarakat pendukung. Dengan adanya mitos-mitos yang dianggap tabuh ini membuat masyarakat percaya dengan adanya kekuatan-kekuatan supranatural tersebut. Setiap pantangan-pantangan dalam upacara adat jika dilanggar oleh seseorang maka orang tersebut akan mengalami bencana bahkan kematian. Begitu juga upacara nyanggring yang memiliki adanya pantangan-pantangan yang dipercaya masyarakat dan diakui kebenarannya, salah satunya adalah dalam pembuatan sayur sanggring.
Sayur sanggring hanya boleh dimasak oleh kaum laki-laki yang tergabung dalam kelompok sanggring dan tidak boleh dicicipi, dan setelah selesai dimasak sayur tersebut dibuat sesaji dan di do’akan baru setelah itu boleh di makan bersama. Menurut Bapak Mujiono (wawancara, 7 Maret 2016 : MJ 2133-2148) mengatakan bahwa :
“pembuatan sayur sanggring harus dibuat oleh orang yang suci, orang yang selalu suci adalah orang laki-laki karena perempuan bisa saja tidak suci karena menstruasi, sayur sanggring adalah sayur yang suci jadi yang membuat harus orang suci, kalau perempuan takutnya nanti ada yang tidak suci, sayur yang suci juga tidak boleh dicicipi oleh seseorang pun sebelum diberi do’a-doa oleh Bapak Ustad setempat. Karena semua ini merupakan pantangan dalam upacara nyanggring ini, dulu dalam pembuatan sanggring ini masih ada orang yang tidak percaya dengan pantangan ini kemudian ia nekat untuk mencicipi sayur sanggring tersebut, setelah itu ia mengalami sakit dan meninggal dunia. jadi sebab itu supaya tidak terjadi kesalahan maka dibuat kelompok sanggring yang bersifat turun-temurun supaya tidak terjadi kesalahan”.
Pantangan-pantangan diatas menunjukkan adanya sebuah konsekuensi besar yang menyangkut nyawa seseorang. Begitu besarnya resiko yang harus diterima oleh masyarakat pendukung jika melanggar pantangan-pantangan dalam proses upacara nyanggring. Oleh karena kebenaran itu masyarakat Desa Tlemang percaya dengan konsekuensi yang ada dalam pantangan pembuatan sayur sanggring, sehingga mereka sangat berhati-hati dalam pembuatan sayur sanggring dan mereka membuat group atau kelompok sanggring supaya tidak melanggar pantangan-pantangan yang beresiko besar itu. Di balik pantangan yang sedemikian itu sayur sanggring juga dipercaya memiliki kekuatan-kekuatan yang dapat mengatasi gangguan kesehatan yang di alami oleh masyarakat Desa Tlemang.
 Sayur sanggring dipercaya masyarakat dapat mengobati rasa sakit yang ada didalam tubuh manusia. Dengan adanya kepercayaan ini masyarakat saling berebut untuk bisa mendapatkan sayur sanggring tersebut (wawancara dengan Bapak Wiyono, 20 Februari 2016 : WY 0545-0557). Hal ini menunjukkan adanya sebuah kesucian dalam sesaji-sesaji yang di gunakan saat menggelar upacara yang dapat memiliki fungsi dalam keberlangsungan kehidupan mereka. Dengan adanya upacara nyanggring mereka dapat mewujudkan keinginan-keingan yang harus dicapai oleh masyarakat. Untuk itu mereka membuat upacara nyanggring secara turun-temurun karena memiliki fungsi spiritual dan sosial budaya bagi masyarakat.
Kepercayaan yang begitu mendalam dan melekat pada hati masyarakat Desa Tlemang mengenai upacara nyanggring, sehingga mereka melakukannya secara turun-temurun. Masyarakat sangat antusias dan gotong-royong untuk melaksanakan upacara ini. Bahkan masyarakat Desa Tlemang yang merantau ke luar kota mereka menyempatkan waktu untuk pulang dan mengikuti upacara nyanggring tersebut (wawancara dengan Bapak Wiyono, 20 Februari 2016 : WY 0559-0566). 
Fenomena upacara nyanggring yang harus diketahui jawabannya adalah bentuk upacara nyangring yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlemang dan bagaimana fungsi spiritual serta fungsi sosial budaya upacara tersebut bagi masyarakat sehingga mereka sampai saat ini melakukan upacara adat nyanggring. Dengan pertanyaan tersebut peneliti sangat tertarik untuk meneliti upacara tersebut dengan judul upacara nyanggring (Studi Deskriptif di Desa Tlemang Kecamatan Ngimbang Kabupaten Lamongan).




1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin mengangkat permasalahan untuk dikaji sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk pelaksanaan upacara nyanggring di Desa Tlemang?
2. Bagaimanakah fungsi spiritual dan sosial budaya pada upacara nyanggring bagi masyarakat Desa Tlemang?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mendeskripsikan bentuk pelaksanaan upacara nyanggring yang ada di Desa Tlemang.
b. Memperoleh penjelasan fungsi upacara nyanggring bagi masyarakat Desa Tlemang.
2. Manfaat Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberitahukan kepada masyarakat luas mengenai adanya upacara adat mendhak atau nyangring pada masyarakat Desa Tlemang Kecamatan Ngimbang Kabupaten Lamongan.
b. Dapat memperkaya etnografi masyarakat di Kabupaten Lamongan khususnya dan pada masyarakat Indonesia pada umumnya.
c. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dan bahan pertimbangan kepada pemerintah, khususnya dalam rangka pelestarian upacara tradisional yang masih memberikan fungsi bagi kehidupan masyarakat.
d. Selain itu, sebagai sumbangan bagi Perpustakaan program studi S1 Antropologi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Perpustakaan Pusat Universitas Airlangga.
e. Sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan studi di Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.
1.4 Kerangka Teori
Kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat bukan hanya terlahir begitu saja, namun terdapat sebuah sejarah dan proses yang dialami oleh masyarakat setempat. Seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (2005:72) kebudayaan merupakan hasil karya manusia yang diciptakan melalui proses belajar bukan semata-mata tercipta begitu saja melainkan karena sengaja diciptakan oleh manusia. Sedangkan menurut Soekmono, (1987: 10) menjelaskan bahwa kebudayaan semata-mata tak dapat dimiliki oleh seseorang karena itu menjadi anak manusia dia harus belajar, dia harus menjadikan kebudayaan itu miliknya, karunia yang dilimpahkan kepada manusia untuk dapat belajar. Berdasarkan pendapat tersebut menunjukkan bahwa suatu kebudayaan merupakan bentuk dari manivestasi prilaku dan pikiran masyarakat. Oleh karena itu setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai yang bermanfaat bagi masyarakat. 
Setiap kebudayaan memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur berprilaku dalam masyarakat. Nilai dan norma tersebut harus dihayati oleh masyarakat pendukungnya. Suatu penghayatan nilai dan norma dapat dilakukan dengan melalui proses sosialisasi. Proses sosialisasi dimulai dari masa kanak-kanak hingga masa tuanya yang dilakukan saat berinteraksi dengan individu-individu lain dilingkungannya yang menduduki beraneka macam  peranan sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari (Koentjaraningrat, 1980 : 243). 
Kebudayaan manusia merupakan hasil dari dua proses yang saling mengisi. Menurut A. Alland Jr (dalam Soepanto dkk, 1992 : 1) teradapat dua proses yang saling mengisi yaitu proses yang pertama ialah hubungan manusia dengan lingkungan alam dan yang kedua adalah kemampuan manusia dapat berfikir metaforik. Dengan proses tersebut terdapat adanya suatu adaptasi atau penyesuaiaan diri yang mendorong manusia terhadap lingkungannya dan membentuk sebuah aktivitas yang menjadi kebiasaan sehingga terciptalah sebuah kebudayaan. Setiap kebudayaan yang dimiliki oleh manusia memiliki lambang yang mempunyai arti masing-masing sehingga hal itulah yang melatar belakangi manusia dapat berfikir metaforik.
Masyarakat tradisional masih mempunyai pola pikir yang sangat sederhana. Kebanyakan masyarakat tradisional masih percaya dengan adanya kekuatan-kekuatan yang bersifat supranatural. Kekuatan yang bersifat supranatural itu dipercaya masyarakat dapat berasal dari langit maupun alam. Adanya kepercayaan masyarakat mengenai kekuatan supranatural maka sebagai bentuk komunikasinya dimanivestasikan melalui upacara adat, yang mengacu pada nenek moyang desa atau yang biasanya disebut masyarakat sebagai dhanyang atau seorang pendiri desa tersebut (Munawaroh, 2013 : 114). 
Upacara adat adalah wujud atau bentuk dari realisasi kebudayaan yang berupa aktivitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat atau sering disebut sistem sosial. Sistim sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi dari waktu ke waktu, dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan (Koentjaraningrat, 2002). Hal ini menggambarkan adanya sebuah kebudayaan memiliki nilai-nilai dan makna serta fungsi tertentu dalam masyarakat yang mengacu pada keberlangsungan hidup mereka. Oleh karena itu ritual atau upacara adat akan tetap dilaksanakan oleh masyarakat dan bersifat turun-temurun.
Upacara adat dijalankan secara turun-temurun dapat dijadikan masyarakat sebagai tradisi mereka. Tradisi tersebut akan tetap dilakukan secara terus-menerus antar generasi sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur atau dhanyang mereka. Dengan cara melalui upacara masyarakat pendukung dapat mengenang dan mengetahui asal-usul mereka atau melacak masa lalu mereka baik itu tempat, tokoh, sesuatu benda, kejadian alam dan lain-lain. Adat atau tradisi yang ada dalam masyarakat merupakan sebuat aktivitas yang religius. Menurut Suryono (1985: 4) menjelaskan mengenai adat adalah suatu tradisi yang menjadi kebiasaan yang bersifat religious di kehidupan masyarakat asli yang meliputi kebudayaan, norma dan nilai-nilai yang saling berkaitan yang kemudian menjadi suatu sistem dan norma-norma adat.
Upacara adat tradisional merupakan wujud dari sebuah kebudayaan dalam unsur realigi masyarakat yang memiliki nilai dan norma yang bersifat menyeluruh. Upacara tradisional bersifat sakral dan suci, dimana setiap aktivitas manusia mempunyai maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Melihat pada pendapat diatas upacara adat tradisional merupakan kelakuan dan adat kebiasaan masyarakat dalam bentuk suatu permohonan, atau sebagai ungkapan rasa terima kasih serta tindakan simbolis manusia sehubungan dengan unsur kepercayaan yang maksud dan tujuannya untuk menghindarkan diri dari gangguan makhluk-makhluk atau roh yang bersifat jahat.
Upacara ataupun ritual kebanyakan didasari dengan adanya unsur agama atau realigi. Kebanyakan sebuah ritual atau tradisi di anggap sebagai sebuah properti studi tentang agama atau realigi. Dari segi aktifitasnya, terdapat banyak sekali hal (termasuk yang tidak berkaitan dengan agama) yang secara teknis dapat dimasukkan dalam kategori ritual. Menurut Cliford Gertz (dalam Daniel Pals, 1996 : 244) menjelaskan bahwa :
“agama merupakan 1) satu sistem simbol yang bertujuan untuk 2) menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang 3)  dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah tatanan umum eksistensi dan 4) meletakkan konsepsi ini pada pancaran-pancaran faktual 5) dan pada akhirnya perasaan dan motivasi ini akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik”.
Definisi diatas menggambarkan bahwa secara universal keterlibatan antara agama dan budaya. Keterkaitan antara agama dan budaya dijelaskan secara holistik yang mencakup makna-makna sebuah ritual keagamaan tersebut bagi masyarakat. Di jelaskan pula bahwa simbol-simbol tersebut bersifat publik yang dapat menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak pernah hilang dalam diri seseorang (penganutnya) atau simbol agama tersebut dapat menyebabkan penganutnya melakukan sesuatu (seperti ritual) karena dorongan yang kuat dan sulit dikendalikan. Oleh sebab itu upacara adat memiliki fungsi spiritual yang dapat mempengarihi jiwa seseorang. Sementara itu menurut Taylor (dalam jurnal Raharjo, http://citraputraraharjo.blogspot.co.id/2013/10/antropologi-agana.html?m=1 diakss, 15 Mei 2016) memandang bahwa agama sebagai sebuah kepercayaan kepada wujud spiritual. 
Agama digambarkan sebagai kepercayaan kepada adanya ruh gaib yang dapat berfikir, bertindak dan merasakan sama seperti dengan manusia. Ruh gaib itu berevolusi menjadi kepercayaan terhadap dewa-dewa alam yang berada disetiap  peristiwa alam. Ada juga menurut Radcliffe Brown (dalam jurnal Raharjo, http://citraputraraharjo.blogspot.co.id/2013/10/antropologi-agana.html?m=1 diakss, 15 Mei 2016) juga memandang agama sebagai suatu ekspresi dalam satu atau lain bentuk tentang kesadaran terhadap ketergantungan kepada suatu kekuatan diluar diri kita yang dapat dinamakan dengan kekuatan spiritual atau moral. Ajaran agama tidak hanya memandang kekuatan ghaib itu bukan sekedar ghaib, tetapi berkuasa membantu, menyelamatkan, atau mencelakakan mereka sehingga dari adanya itu masyarakat menggelar upacara adat dengan fungsi untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Kebutuhan spiritual tersebut menyangkut psikologis atau jiwa seseoranng.  Menurut Koentjaraningrat (1992 : 223) mengatakan bahwa upacara atau ritual dapat membangkitkan emosi keagamaan pada masyarakat dan pada setiap individu yang hadir. Diselenggarakannya upacara juga merupakan suatu kegiatan yang dapat mengungkapkan emosi keagamaan yang sudah dianaut oleh masyarakat. Hal inilah yang menandakan bahwa pentingnya upacara dalam memenuhi kebutuhan yang ada dalam individu bahkan masyarakat. Sehingga upacara adat merupakan bagian dari sebuah kebudayaan yang ada dalam masyarakat.
Upacara adat memiliki proses-proses tertentu yang dilakukan dalam masyarakat. Proses tersebut harus dilakukan oleh seluruh masyarakat yang melakukan upacara. Hal ini menunjukkan adanya solidaritas masyarakat yang tinggi. Mereka membentuk sebuah interaksi sosial yang diwujudkan melalui gotong royong. Menurut Koentjaraningrat, (1992:221) dalam setiap upcara keagamaan mengandung lima aspek antara lain :
1. Tempat Upacara.
2. Waktu pelaksanaan upacara.
3. Benda-benda dan perlatan upacara.
4. Orang yang melakukan atau memimpin jalannya upacara.
5. Orang-orang yang mengikuti upacara. 
Pelaksanaan upacara adat berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam menjalankan keberlangsungan hidup mereka. Menurut Malinowski (dalam Koentjaraningrat, 1980 : 162) kebutuhan ini meliputi kebutuhan primer/biologis dan sekunder/psikologis. Dalam teori fungsional yang digagas oleh Malinowski (dalam Hidayatullah,http://www.academia.edu/9433821/Teori_Fungsionalisme_Kebudayaan, di akses, 15 Maret 2016) pada dasarnya kebudayaan manusia adalah sama, baik itu kebutuhan biologis maupun psikologis. Kondisi pemenuhan kebutuhan tidak terlepas dari sebuah proses dinamika perubahan kearah konstruksi nilai yang dicapai bersama.
Upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat tentunya ada hal yang melatar belakangi dan fungsi yang berpengaruh pada nilai-nilai dan pranata sosial yang ada dalam masyarakat. Fungsi tersebut terdapat kaitannya dengan kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut gagasan teori Malinowski (dalam Hidayatullah, http://www.academia.edu/9433821/Teori_Fungsionalisme_Kebudayaan, di akses, 15 Maret 2016) yang merumuskan konsep-konsep. konsep tersebut dirumuskan ke dalam tingkatan abstraksi mengenai fungsi aspek kebudayaan antara lain :
1. “Saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek lainnya.
2. Konsep oleh masyarakat yang bersangkutan.
3. Unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara fungsional.
4. Esensi atau inti dari kegiatan atau aktivitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan dasar ‘’biologis’’ manusia”. 
Konsep tersebut menunjukkan bahwa suatu kegiatan upacara adat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan akan keselamatan dan keberkahan. Kebanyakan upacara adat dilakukan oleh masyarakat yang memiliki pemikiran yang sederhana yang masih percaya dengan kekuatan-kekuatan magis yang ada di lingkungan alam sekitarnya. Oleh karena itu untuk menjembatani hubungan manusia dan lingkungan maka diadakan sebuah ritual upacara adat yang memiliki makna dan fungsi tertentu sehingga dapat menciptakan keteraturan dalam masyarakat.
Di Dalam elemen masyarakat terdapat bermacam-macam struktur yang bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Dalam teori fungsional menurut Durkheim (dalam James, 1994 : 16) mengatakan bahwa : 
‘’masyarakat terdiri dari atas banyak bagian, yang masing-masingnya mempunyai fungsi tersendri. Jika semua bagian masyarakat menjalankan fungsinya, maka masyarkat dalam keadaan ‘’normal’’. Sebaliknya, jika bagian-bagian masyarakat tidak menjalankan fungsinya, masyarakat berada dalam keadaan abnormal atau patologis”.
Teori fungsionalisme menekankan pada keteraturan bahwa masyarakat merupakan sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Didalam aktivitas masyarakat yang dilakukan memiliki fungsi dalam berbagai bidang masing-masing. Menurut Michael J. Jusius (dalam Soesanto, 1974 : 54) setiap aktivitas masyarakat yang dilakukan untuk mencapai tujuan atau harapan-harapan masyarakat yang ingin dicapai. Aktiitas yang dilakukan masyarakat berupa upacara adat. Upacara adat diyakini dapat berkomunikasi dengan kekuatan-kekuatan yang melebihi manusia sehingga mereka tetap menjalankan upacara adat untuk memenuhi kebutuhannya. 
Upacara tentunya terdapat symbol-simbol yang memiliki fungsi masing-masing. Menurut Suber Budhisantoso, (1948 : 28) menjelaskan mengenai fungsi upacara adat keagamaan yang ideal dan dapat dilihat dalam kehidupan sosial budaya. Terdapat adanya pengendalian sosial, media sosial dan norma sosial harus dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Bagi masyarakat tradisional dalam rangka mencari hubungan dengan apa menjadi kepercayaan biasanya dilakukan dalam suatu wadah dalam bentuk upacara keagamaan yang bisanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat dan mempunyai fungsi sosial untuk mengitensifkan solidaritas masyarakat. 
Dalam menjalankan upacara adat selalu dilakukan secara berulang, sehingga dapat dikatakan bahwa upacara merupakan sutu bagian yang penting dalam masyarakat. Pada hakikatnya dalam melaksanakan upacara dilakukan dengan tulus ikhlas oleh masyarakat pendukungnya. Menurut Nur Syam (2007: 25) menjelaskan mengenai fungsi upacara adat tradisional diantaranya yaitu :
1. Sebagai proses transformasi nilai-nilai dari generasi tua ke generasi muda.
2. Sebagai wadah bagi orang-orang untuk belajar balian(pemimpin upacara adat dan dukun) dan menguasai dan menngkatkan keterampilan dalam membuat peralatan serta sesajen yang merupakan satu bentuk rasa syukur atas kenikmatan dan karunia yang diterima dan dialami oleh masyarakat tradisional.
3. Agar terjadinya solidaritas dalam masyarakat.
Dengan adanya solidaritas masyarakat akan membuat suatu kerjasama untuk kebaikan bersama misalnya gotong royong. Solidaritas akan memberikan dan memelihara nilai-nilai dan partisipasi masyarakat secara sukarela dalam pembangunan saat ini. Perlu adanya interaksi sosial dalam masyarakat yang dapat memunculkan kebersamaan, tolong-menolong, saling menghormati dan saling menghargai sehingga akan menciptakan kehidupan yang harmonis.

1.5 Metode Penelitian
1.5.1 Tipe Penelitian
Dalam sebuah penelitian harus menggunakan metode, penggunaan metode sangatlha penting untuk mendapatkan data, mengoleh data dan mendeskripsikan data sehingga dapat menjawab permasalahan dalam penelitian. Dalam menentukan metode penelitian peneliti harus tepat, dengan penggunaan metode yang tepat maka akan mendapatkan data yang bersifat objektif dan sistematis. Penggunaan metode juga memiliki tujuan lain yaitu untuk menyajikan kajian yang mudah dipahami oleh pembaca. oleh karena itu, peneliti menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Alasan peneliti menggunakan metode ini yaitu untuk mendeskripsikan sebuah fenomena upacara nyanggring yang berada di Desa Tlemang dengan keadaan yang sebenar-benarnya. Menurut Nawawi (1992:63) menyatakan bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan data-data yang diperoleh secara holistik sehingga makna yang ada didalam data tersebut dapat diketahui. Dengan menggunakan metode penelitian ini diharapkan dapat diperoleh data-data yang mampu untuk menjawab permasalahan penelitian yang terkait dengan upacara nyanggring.

1.5.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini sengaja dilakukan selama 1 bulan yaitu pada tanggal 16 Februari sampai 16 Maret 2016. Peneliti memilih tanggal ini dikarenakan waktu pelaksanaan upacara nyanggring pada tanggal 24-27 bulan Jumadil Awal(Tanggalan Jawa) dan kalau dilihat dengan tanggalan nasional jatuh pada tanggal 4 maret sampai 7 maret 2016. Selama satu bulan tersebut peneliti melihat secara langsung persiapan upacara, proses upacara berlangsung dan perasaan masyarakat setelah  melakukan upacara tersebut.
Lokasi Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lamongan Kecamatan Ngimbang khususnya di Desa Tlemang dikarenakan desa ini merupakan tempat pelaksanaan upacara nyanggring.

1.5.3 Teknik Pemilihan Informan
Dalam melakukan pemilihan Informan peneliti memilih secara sengaja (purposive). Menurut Moleong (2005:90) menjelaskan mengenai cara memilih informan yaitu seseorang yang memiliki pengetahuan terkait dengan latar penelitian, sehingga keberadaan informan sangat penting dalam sebuah penelitan. Oleh karena itu peneliti menggunakan kriteria tertentu dalam memilih informan yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Menurut Spradley (2006 : 67-68) menjelaskan mengenai kriteria tersebut, kriteria tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Enkulturasi penuh yakni informan yang memahami dengan benar segala aktivitas yang menjadi fokus penelitian.
2. Keterlibatan langsung yakni informan yang sudah lama tinggal dan mengalami suasana budaya yang diteliti sehingga pengetahuan yang dimiliki digunakan sebagai acuan dalam setiap tindakannya.
3. Cukup waktu yaitu informan yang memiliki waktu untuk diwawancarai seputar dengan informasi mengenai penelitian.
4. Non analitik yaitu informan yang memberikan informasi apa adanya dan mentah tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Berdasarkan ciri informan diatas yang telah dideskripsikan maka informan yang sesuai dengan kriteria pertama yaitu juru kunci upacara nyanggring yang bernama Bapak Waepan dan Bapak Mujiono, mereka juga merupakan juru kunci makam Ki Buyut Terik. Sedangkan informan yang sesuai dengan kriteria ke dua yaitu Kepala Desa Tlemang yang merupakan pemimpin upacara nyanggrig tersebut. Informan yang sesuai dengan kriteria ke tiga yaitu masyarakat Desa Tlemang selaku masyarakat pendukung atau peserta upacara, masyarakat tersebut antara lain 
1. Bapak Sugeng warga Dusun Tlemang.
2. Ibu Mujiati warga Dusun Tlemang.
3. Bapak Sutrisno warga Dusun Tlemang.
4. Aris Pramono Ketua Karang Taruna Desa Tlemang.
5. Bapak Damin Kepala Dusun Waduk.
6. Bapak Sarko Ketua RT 01 di Dusun Waduk.
7. Bapak Ruslan Ketua RT 01 di Dusun Bakon.
8. Ibu Sumini Ibu rumah tangga di Dusun Tlemang.
9. Bapak Ngatemin warga Dusun Waduk.
10. Bapak Hariadi Moden (tokoh agama) di Desa Tlemang.
11. Bapak Ngatmijan Ketua Kelompok sanggring.
12. Budiman anggota kelompok sanggring.
Sedangkan yang sesuai dengan kriteria informan yang ke empat yaitu masyarakat Desa Tlemang yang merantau diluar kota dan para pengunjung dari Desa maupun Kota Lain. diantaranya sebagai berikut :
1. Heru warga Desa Tlemang yang merantau Ke Kalimantan.
2. Bapak Sudirman warga Desa Tlemang yang merantau ke Jambi.
3. Ibu Mujiati pengunjung dari Desa Sugio Kabupaten Lamongan.
4. Bapak Jupri  pengunjung dari Kabupaten Bogor.
5. Bapak KH. Munir pengunjung dari Kabupaten Tuban.
Peneliti memilih mereka supaya peneliti mengetahui fungsi upacara tersebut bagi mereka dan timbal balik yang diperoleh masyarakat setelah melakukan upacara nyanggring sehingga upacara tersebut masih tetap dijalankan sampai sekarang. Dengan ini peneliti akan mendapatkan irformasi yang dibutuhkan sehingga data yang diperoleh valid.

1.5.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data dari informan dalam rangka menjawab permasalahan penelitian maka teknik pengumpulan data yang akan peneliti gunakan antara lain:
a. Observasi
Teknik Observasi dilakukan oleh peneliti untuk mengamati dan mencatat secara sistematis objek penelitian secara langsung sehingga peneliti harus terjun ke lapangan Moleong, 2005:125). Observasi yang dilakukan oleh peneliti yaitu dengan cara mengunjungi dan mengamati secara langsung kondisi masyarakat Desa Tlemang dan tempat-tempat yang digunakan untuk melaksanakan upacara tersebut dikarenakan ada 3 tempat pelaksanaan upacara tersebut yaitu di sendhang Desa Tlemang, dirumah Kepala Desa dan di makam Ki Buyut Terik. Hal ini dilakukan oleh peneliti supaya dapat memudahkan peneliti dalam melakukan proses penelitian. Penulis juga dapat mengamati secara langsung aktivitas-aktivitas masyarakat Desa Tlemang diluar dari hari pelaksanaan upacara nyanggring tersebut. 
b. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam yang dilakukan oleh peneliti yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada informan untuk mendapatkan data-data sesuai dengan permasalahan penelitian. Dalam melakukan wawancara peneliti menggunakan pedoman wawancara supaya dapat memfokuskan pembicaraan informan pada topik yang diteliti. Selain itu peneliti juga menggunakan handphone untuk merekam pembicaraan dari informan. Dalam melakukan wawancara peneliti menginginkan informan tersebut dalam keadaan sehat dan dilakukan pada waktu luang santai sambil minum kopi/teh supaya data yang diperoleh peneliti banyak dan dipercayai kebenarannya. 
Adapun wawancara mendalam ini pertama kali dilakukan oleh peneliti saat memberikan surat izin penelitian di Balai Desa Tlemang, saat itu di sana hanya terdapat 2 orang yaitu staf administrasi desa dan Kepala Dusun Bakon yang bernama Bapak Mujiono dan ternyata secara tidak terduga Bapak Mujiono merupakan seorang juru kunci upacara nyangring dan makam Ki Buyut Terik. Secara tidak sengaja saat itu peneliti langsung mewawancarai beliau mengenai upacara nyangring. Selain itu peneliti juga mewawancarai seorang admin tersebut tentang pendapatnya mengenai topik dari skripsi penulis yaitu upacara nyangring.  
c. Data Sekunder 
Data sekunder yang dimaksudkan penulis yaitu data yang penulis kumpulkan melalui studi pustaka dari buku-buku seperti buku yang telah ditulis oleh Rudjiati, 1991 yang berjudul Upacara Mendhak/Nyanggring Pada Masyarakat Desa Tlemang Kecamatan Ngimbang Kabupaten Lamongan dan buku pengantar antropologi yang ditulis oleh Koentjaraningrat serta buku-buku yang ditulis oleh para antropolog lainnya. Peneliti juga menggunakan penelitian-penelitian terdahulu dari Indiyanto dkk, 2012 yang berjudul berjudul Revitalisasi Ritual Adat Dalam Rangka Ketahanan Budaya Lokal, Dalam Kasus Upacara Mendhak atau Nyanggring Di Desa Tlemang Kecamatan Ngimbang Kabupaten Lamongan. Ada juga jurnal yang ditulis oleh Siti Munawaroh, 2013 yang berjudul Upacara Adat Nyanggring Di Tlemang Lamongan Sebagai Wahana Ketahanan Budaya. Setelah itu artikel-artikel dan jurnal-jurnal yang ada di internet mengenai kebudayaan, upacara adat dan agama sebagai sistem budaya serta fungsi upacara/ritual di masyarakat dan yang berkaitan dengan kajian penulisan ini.


d. Dokumentasi
Dokumentasi yang dimaksudkan disini adalah untuk merekam aktivitas-aktivitas masyarakat Desa Tlemang dan merekam proses-proses upacara dari ritual duduk sendhang, babat cungkup, slametan daging kambing, pagelaran wayang krucil, pembuatan sayur sanggring dan aktivitas masyarakat ziarah dan slametan di makam Ki Buyut Terik. Hal ini dilakukan oleh penulis supaya proses upacara tersebut terdokumentasikan dengan baik dan dapat dijadikan sebagai bukti dalam melakukan penelitian serta untuk disosialisasikan ke media sosial supaya semua orang dapat mengetahui budaya yang ada di Kabupaten Lamongan menegenai keberadaan upacara Nyanggring.

1.5.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah data yang diperoleh peneliti kemudian dikumpulkan dan diseleksi sesuai dengan pengelompokannya dan selanjutnya dilakukan analisis kualitatif, kemudian dilanjutkan secara deskriptif dengan menggunakan teori fungsionalisme kebudayaan dari Malinowski dan Radclife Brown serta agama sebagai sistem budaya dari Cliford Gertz. Selain itu juga menggunakan analisis teori Emile Durkheim menegenai fungsi agama dan fungsi spiritual dalam upacara oleh Koentjaraningrat. Berdasarkan data yang diperoleh peneliti akan mengolah data tersebut dengan cara ditranskrip kedalam dialog peneliti dan informan dengan menggunakan koding informan. Dari data yang telah diperoleh maka peneliti akan memilah mana data-data yang terkait sesuai dengan permasalahan penelitian atau tidak. Setelah data sudah terkumpul maka peneliti akan menguji kebenaran dari data tersebut dengan menggunakan literatur agar keabsahannya tidak diragukan lagi. Selanjutnya data-data yang terkumpul tersebut dikaitkan dengan teori yang peneliti gunakan untuk mendiskripsikan upacara nyanggring tersebut sehingga berakhir pada sebuah kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan penelitian. 


BAB V
PENUTUP
IV.1  Simpulan
            Dengan demikian upacara nyanggring dapat berfungsi spiritual dan sosial budaya yang tertuang pada saat mereka melakukan persiapan-persiapan dan melakukan proses tahapan-tahapan upacara nyanggring. Dengan adanya fungsi tersebut masyarakat Desa Tlemang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya atau keinginan-keinginan dan harapan-harapan mereka.
. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti bahwa upacara nyanggring yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tlemang memiliki fungsi, fungsi tersebut antara lain sebagai berikut :
a.       Fungsi spiritual yaitu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan adanya keselamatan, kesejahteraan dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan dan manusia dengan pencipta atau Tuhan semesta alam yang menguasai bumi dan seisinya sehingga dalam melaksanakan upacara nyanggring ini masyarakat sangat antusias dan dapat membangkitkan emosi seseorang.
b.      Sebagai ucapan rasa syukur kepada Allah SWT atas rizki, keselamatan dan kesejahteraan yang telah dicapai oleh warga masyarakat Desa Tlemang. Dalam hal ini mengenai hasil pertanian masyarakat Desa Tlemang supaya melimpah dan tidak ada penyakit maupun ketersediaan air irigasi untuk pertanian dapat dipenuhi dengan baik.
c.       Untuk mengenang dhanyang atau leluhur mereka yaitu Ki Buyut Terik yang telah mendirikan desa mereka dan menjaga desa. Hal ini juga untuk penghormatan kepada Ki Buyut Terik yang juga telah mengajarkan dan mengamalkan agama islam kepada mereka sehingga masyarakat dapat belajar agama islam dengan baik.
d.      Fungsi sosial budaya sebagi bentuk integrasi sosial dalam masyarakat Desa Tlemang. Integrasi dibangun masyarakat melalui upacara nyanggring yang dapat membentuk masyarakat menjadi bersatu saling gotong-royong, menghargai dan menghormati serta tidak memandang status sosial yang ada dalam masyarakat. Adapula sebagai ajang silaturrahmi bagi masyarakat Desa Tlemang yang merantau ke luar kota, juga sebagai ajang hiburan bagi masyarakat Desa Tlemang. Ini merupakan nilai-nilai yang penting dan harus dijaga oleh mayarakat supaya dapat terintegrasi.
e.       Untuk mempertahankan budaya lokal supaya tetap eksis dan dapat dijadikan sebagai identitas lokal.
f.       Dengan banyaknya pengunjung yang mengikuti upacara nyanggring maka dapat dijadikan sebagai objek wisata realigi dan kebudayaan.

IV.2 Saran
            Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan mengenai Studi Deskriptif Upacara Nyanggring di Desa Tlemang Kecamatan Ngimbang Kabupaten Lamongan, maka dapat peneliti kemukakan saran-saran sebagai berikut :
a.       Masyarakat Desa Tlemang harus tetap menjaga dan melestarikan supaya upacara nyanggring ini dapat terus dilakukan walaupun zaman sudah modern sehingga dapat dijadikan sebagai identitas budaya lokal .
b.      Jangan sampai masyarakat terkena pengaruh dari kebudayaan luar sehingga masyarakat tetap menghormati dan mengenang sejarahnya karena sejarah merupakan hal yang sangat penting.
c.       Bagi Pemerintah Kabupaten Lamongan harus mendukung, melestarikan, menjaga dan mempopulerkan baik secara nasional maupun internasional sehingga dapat menarik wisatawan untuk mengunjungi dan mengikuti upacara nyanggring tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Alland A, Jr. (dalam Soepanto dkk). 1992. Upacara Tradisional Skaten Daerah Istimewah Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal 1
Aryono, Suryo. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta: Persindo.
Budhisantoso, Suber. 1989. Tradisi Lisan Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Dalam Analisa Kebudayaan. Jakarta: Depdikbud.
Durkheim, Emile. (dalam James M Henslin). 1994. Sosiologi Dalam Pendekatan Membumi. Jakarta : Erlangga. Hal 16
Gertz, Clifford. (dalam Daniel L. Pals). 1996. “Religion as Cultural System:”, dalam Seven Theories Of Religion. New York: Oxford University Press. Hal 244
Indiyanto, dkk. 2012. Revitalisasi Ritual Adat dalam Rangka Ketahanan Budaya Lokal. Kasus  Fakultas Ilmu Budaya UGM dan Balai Pelestarian Nilai Budaya.
Michael J. Jusius, Michael J. (dalam Soesanto). 1974. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia. Hal 54
Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : UI Press.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitataif Edisis Revisi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Munawaroh, Siti. 2013. Upacara Adat Nyangring Di Tlemang Lamongan Sebagai Wahana Ketahanan Budaya. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rudjiati, dkk 1991. Upacara Mendhak/Nyanggring Di Desa Tlemang Kecamatan Ngimbang Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Direktorakt Sejarag dan Nilai Tradisional, P2NM.
Soekmono, R. 1987. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Muciana.
Syam, Nur. 2007. Madzhab-madzhab Antropologi. Yogyakarta: LkiS.
Dokumen :
Demografi Desa Tlemang.
Dokumen Pribadi.
Sumber Internet :

No comments:

Post a Comment